cpu-data.info

Ketika Teknologi Face Recognition Bikin Polisi Salah Tangkap

Ilustrasi teknologi pengenal wajah (Face Recognition)
Lihat Foto

- Polisi negara bagian New Jersey Amerika Serikat salah menangkap seorang pria kulit hitam karena hasil pencocokan teknologi pengenalan wajah (facial-recognition) yang keliru.

Pria korban salah tangkap tersebut, Nijeer Parks, disangkakan sebagai pelaku pencurian di sebuah hotel di Woodbridge pada 2019 lalu. Nijeer kemudian mengajukan gugatan terhadap pejabat kota dan polisi setempat pada Desember tahun ini.

Peristiwa salah tangkap ini terjadi ketika polisi di wilayah Woodbridge menerima laporan adanya pengutil di salah satu hotel di Woodbridge pada Januari 2019. Pelaku pencurian berhasil melarikan diri namun surat izin mengemudi (SIM) miliknya tertinggal di tempat kejadian perkara.

Polisi kemudian melanjutkan investigasi dengan menganalisis SIM miliki pelaku melalui sistem pengenalan wajah dengan membandingkan foto di SIM tersebut dengan foto tersangka lain, seperti mantan -para narapidana, yang fotonya ada di database polisi dan FBI.

Dari hasil analisis facial recognition, profil Parks yang cocok dengan foto di SIM yang belakangan diketahui palsu itu. Profil Parks ada di database polisi karena memang sebelumnya ia pernah dipenjara selama enam tahun karena dua hukuman terkait menjual narkoba. Ia bebas pada 2016 lalu.

Baca juga: Isu Rasial di Balik Teknologi Pengenal Wajah

Tidak ada keterangan resmi teknologi facial recognition mana yang digunakan polisi untuk menetapkan Parks sebagai pelaku. Namun, pengacara Parks, Daniel Sexton mengatakan bahwa salah tangkap yang menimpa kliennya ini akibat dari teknologi pengenalan wajah yang "cacat".

"Tidak ada bukti nyata. Pengnakapan klien saya hanya didasarkan pada teknologi pengenal wajah yang sekarang dinyatakan ilegal di negara bagian New Jersey, dan memang dari awal software itu sudah cacat," kata Sexton, sebagaimana dirangkum KompasTekno dari NJ, Rabu (30/12/2020).

Sexton juga mengungkapkan bahwa penangkapan kliennya itu juga dimotivasi oleh "permusuhan anti-kulit hitam". "Dia (Parks) ditahan, ditangkap, dan didakwa karena dia seseorang dari ras Afrika-Amerika," katanya.

Sebagai informasi, pada Januari 2020, Jaksa Agung New Jersey Gurbir Grewal memerintahkan polisi di negara bagian itu untuk berhenti menggunakan teknologi pengenal wajah Clearview AI.

Yurisdiksi lain telah melarang polisi menggunakan software Clearview AI atau pengenalan wajah secara umum dalam proses penegakan hukum, sebagaimana dihimpun dari Engadget.

Baca juga: Buntut Kasus George Floyd, IBM Setop Teknologi Pengenal Wajah

Belakangan, pendiri Clearview AI, Hoan Ton-That, mengatakan kepada New York Times bahwa kepolisian yang menetapkan Parks sebagai pelaku tidak menggunakan teknologi milik perusahaannya pada saat itu.

Akibat kejadian salah tangkap ini, Parks sempat harus mendekam di balik jeruji selama 10 hari sebelum akhirnya bebas dengan membayar uang jaminan sebesar 5.000 dollar AS (sekitar Rp 70,4 juta).

Parks melalui pengacaranya, Daniel Sexton, telah mengajukan gugatan terhadap pejabat kota dan polisi di Woodbridge. Tuduhan yang diajukan terhadap mereka ialah melanggar hak-hak sipil kilennya (Parks) karena hanya mengandalkan teknologi pengenal wajah yang "cacat" dalam investigasi kejahatan.

Ini adalah kasus salah tangkap ketiga di AS yang disebabkan oleh pencocokan terduga pelaku kriminal menggunakan teknologi pengenalan wajah milik polisi.

Tiga orang korban salah tangkap itu semuanya adalah pria kulit hitam. Kedua insiden lainnya terjadi di area Detroit. Ini menunjukkan bahwa masalah salah tangkap karena teknologi facial recognition ini bukan hanya masalah lokal.

Michael Oliver, salah satu korban salah tangkap di Detroit telah menggugat kota Detroit dan detektif dalam kasus salah tangkapnya.

Baca juga: Cara Mematikan Pengenal Wajah di Facebook untuk Menjaga Privasi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat