AI Disebut Bakal Jadi Kuno dan Digantikan OI, Apa Itu?
- Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sedang naik daun. Apalagi sejak kehadiran ChatGPT buatan OpenAI, teknologi ini makin jadi perbincangan hangat dan menarik perhatian.
Dalam chatbot ChatGPT bikinan OpenAI, misalnya, AI dipakai untuk menerima pertanyaan pengguna dan mencari jawaban akan pertanyaan tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami manusia.
Lalu di berbagai smartphone masa kini, teknologi AI juga disematkan ke dalam fitur kamera untuk membuat hasil foto semakin bagus dan cantik.
Baca juga: Elon Musk Sebut AI Bisa Bahayakan Peradaban Manusia
Teknologi AI diramalkan bakal terus dikembangkan dan digunakan dalam beberapa tahun ke depan. Namun nantinya, masa depan AI mungkin akan terancam, dan mungkin akan menjadi kuno pasca kehadiran teknologi baru yang bernama Organoid Intelligence (OI).
Setidaknya begitu menurut sebuah jurnal yang dirilis para ilmuwan di Universitas Johns Hopkins, Maryland, Amerika Serikat (AS) di pusat data jurnal Frontiers of Science baru-baru ini.
Jurnal berjudul "Organoid Intelligence: The New Frontier in Biocomputing and Intelligence-in-a-Dish" ini menjelaskan bahwa OI sederhananya merupakan teknologi AI yang dipadukan dengan kemampuan komputasi yang berasal dari otak manusia.
Secara teknis, OI akan ditopang dengan sel-sel otak manusia (brain organoids), yang diambil dari sampel. Kemudian diperbanyak untuk berbagai kepentingan penelitian.
"Sel-sel otak ini memungkinkan kami melakukan beragam riset tentang fungsi otak manusia. Sebab, para ilmuwan bisa memanipulasi sel-sel otak tersebut untuk menggali potensi dari kemampuan otak secara keseluruhan," ujar ilmuwan Universitas Johns Hopkins, Thomas Hartung, dikutip KompasTekno dari EurekaAlert, Rabu (8/3/2023).
Baca juga: Bill Gates: AI Mengubah Dunia, tapi Tidak Ancam Pekerjaan Manusia
Komputer OI dengan cara berpikir manusia
Hartung melanjutkan, OI yang mengandalkan sel-sel otak ini nantinya bakal bisa menciptakan sebuah komputer efisien dapat memproses atau bekerja dengan cara berpikir seperti manusia. Komputer seperti ini biasa disebut sebagai biokomputer.
Hartung sebenarnya mengatakan bahwa komputer modern bisa menghitung banyak kalkulasi dan memproses angka lebih banyak dari manusia.
Namun, komputer saat ini tidak memiliki kemampuan otak manusia, seperti kemampuan deduksi, kemampuan berpikir secara logika (logical thinking) hingga secara naluri (intuitive thinking).
Selain itu, komputer masa kini juga boros energi, tidak seperti biokomputer yang nantinya diharapkan dapat memproses sesuatu secara alami dan lebih efisien.
"Kemampuan komputer belum bisa melampaui kemampuan otak. Bahkan Frontier, komputer super terbaru di Kentucky, AS yang memiliki ukuran sekitar 6.800 kaki persegi (sekitar 631 meter persegi), baru saja mencapai kemampuan otak manusia dalam Juni 2022 lalu, namun dengan pemakaian daya yang sangat banyak," jelas Hartung.
Karena lebih efisien dan kemampuan komputasinya melebihi komputer saat ini, teknologi OI diramal bisa menggantikan AI di masa depan. Apalagi, teknologi AI dikenal memakan banyak sumber daya hardware, energi, dan biaya untuk dapat berjalan dengan optimal.
Baca juga: Ketika AI ChatGPT Lolos Wawancara Kerja di Google, Dapat Tawaran Gaji Tinggi...
Pengembangan OI butuh bertahun-tahun
Hartung menjelaskan, pengembangan teknologi OI ini sebenarnya bisa memakan waktu bertahun-tahun hingga bisa dipakai dan diaplikasikan dalam berbagai perangkat sederhana.
Namun, jika para ilmuwan bisa memproduksi atau memperbanyak sel otak dengan cepat dan melatih organ otak tersebut dengan AI, maka OI diprediksi bakal bisa menciptakan sebuah biokomputer dengan kemampuan pemrosesan mumpuni.
"Akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuat sebuah biokomputer yang memiliki kemampuan seperti komputer modern. Namun, jika riset dan pengembangan OI ini terus digodok dan mendapat perhatian, maka pengembangan OI mungkin akan lebih cepat," pungkas Hartung.
Seperti diketahui, teknologi pintar macam AI, begitu juga OI, dikhawatirkan bisa dipakai untuk hal-hal yang ada di luar nalar manusia, atau bisa dipakai untuk kepentingan yang buruk dan melanggar norma atau etika kehidupan.
Supaya hal itu tak terjadi, para peneliti OI dari Universitas John Hopkins turut menggandeng beberapa peneliti lainnya yang ahli di bidang AI Ethics dan sejenisnya. Informasi selengkapnya mengenai jurnal yang membahas OI ini bisa disimak dalam tautan berikut ini.
Terkini Lainnya
- Kenapa Kita Sering Menerima Telepon Spam? Ini Penjelasannya
- Ini Dia Arti Tanda ‘@’ yang Selalu Dijumpai di E-mail
- Cara Mematikan Download Otomatis di WhatsApp iPhone dengan Mudah
- Brasil Juara Free Fire FFWS Global 2024, Indonesia Runner Up
- 5 Alasan Gen Z Suka Sering Pakai Fitur DnD di Ponsel
- Link Download Aplikasi ChatGPT Windows dan Cara Menggunakannya, Gratis
- Ini Dia, Bukti Kembalinya HP Huawei ke Indonesia
- Daftar 28 HP Oppo yang Kebagian Antarmuka ColorOS 15 dan Jadwal Rilisnya
- Menggenggam Samsung Galaxy S24 FE, Si "Bungsu" yang Cantik dan Cerdas
- Xiaomi Ganti Logo Redmi, Begini Tampilan Barunya
- 5 Tips Menatap Layar HP yang Aman buat Mata, Penting Diperhatikan
- Main Game di Konsol Xbox Kini Tidak Perlu Download dan Instal
- Di Jepang, Warga Diminta Tulis Password HP dan Aplikasi di Surat Wasiat
- Ketik Kata Kunci Ini di Google, Layar HP Bisa "Melayang"
- Waspada, Ini Bahayanya Menyimpan Password Otomatis di Browser Internet
- Pemerintah RI Tolak Rp 1,5 Triliun Apple untuk Buka Blokir iPhone 16?
- Oppo Pastikan Ponsel Lipat Oppo Find N2 Flip Akan Masuk Indonesia
- ChatGPT Masih Bebas Beroperasi di Indonesia meski Belum Daftar PSE
- Daftar 85 Pinjol Ilegal Terbaru per Februari 2023, Masyarakat Wajib Waspada
- Satu Sehat Tidak Bisa Dibuka Hanya Menampilkan Logo, Begini 2 Cara Mengatasinya
- Penulis Manga "One Piece" Pakai ChatGPT untuk Cari Ide Cerita Baru