cpu-data.info

Siap-siap, Harga iPhone Bakal Semakin Mahal gara-gara Tarif Trump

Jajaran iPhone 16, iPhone 16 Plus, iPhone 16 Pro, dan iPhone 16 Pro Max yang dipajang di Apple Store bandara internasional Changi Singapura.
Lihat Foto

- iPhone diprediksi dapat mengalami kenaikan harga yang sangat tajam gara-gara kebijakan Tarif Trump yang baru.

Kebijakan ini diyakini akan menekan biaya produksi iPhone menjadi lebih tinggi, yang kemudian akan membuat pengguna mesti merogoh kocek lebih dalam untuk membeli iPhone model baru.

Tarif impor Trump sendiri adalah perintah eksekutif dari Presiden AS Donald Trump berupa persentase pajak yang dikenakan terhadap nilai suatu barang yang diimpor dari negara lain ke AS.

Baca juga: Saham Apple Anjlok gara-gara Tarif Impor Trump, Terparah dalam Lima Tahun

Misalnya, China dikenai tarif Trump 34 persen, Korea Selatan 25 persen, Jepang, 24 persen, Indonesia 32 persen. Jadi, barang-barang yang diimpor dari China ke AS bakal ditambahkan dengan pajak senilai 34 persen.

Kebijakan tarif Trump ini diyakini bakal berdampak besar bagi produksi iPhone yang mengandalkan rantai pasokan global.

Saat ini, sebagian besar perangkat iPhone dirakit di China, serta menggunakan komponen yang bersumber dari berbagai negara seperti kamera dari Jepang, prosesor dari Taiwan, layar dari Korea Selatan, dan memori dari Amerika Serikat.

Setelah selesai dirakit, iPhone akan diimpor kembali ke kampung halamannya, Amerika Serikat. Di sinilah masalahnya. Saat mengimpor iPhone hasil rakitan di China, secara teori, Apple bakal ikut membayar tarif impor 34 persen.

Jika ini terjadi, analis TechInsights, Wayne Lam, biaya produksi iPhone bisa naik. Lam mencontohkan, dengan tarif Trump, biaya produksi iPhone 16 Pro (256GB) diperkirakan dapat naik hingga 54 persen, dari sekitar 550 dollar AS menjadi 820 dollar AS.

Baca juga: Saham Perusahaan-perusahaan Teknologi Rontok akibat Tarif Trump

Dampaknya, harga jual iPhone ke konsumen bisa melonjak tajam. Analis Rosenblatt Securities memperkirakan, jika Apple membebankan biaya produksi ke pelanggan, maka harga iPhone 16 versi standar bisa naik dari 799 dollar AS (sekitar Rp 9,5 juta) menjadi sekitar 1.500 dollar AS (sekitar Rp 25,9 juta). Kurs 1 dollar AS = 17.285 per Senin (7/4/2025).

Sementara model tertinggi, iPhone 16 Pro Max denan kapasitas penyimpanan 1 TB, bisa menembus 2.300 dollar AS (sekitar Rp 39,7 juta). Sebagai gambaran, harga "normal" iPhone 16 Pro Max 1 TB di AS adalah 1.599 dollar AS atau kira-kira Rp 27,6 juta.

Jadi, kalau biaya produksi iPhone naik karena tarif Trump, kemudian harga jual di AS ikut naik, maka harga jual iPhone untuk pasar lain seperti Indonesia pun kemungkinan akan disesuaikan (naik).

Harga iPhone di Indonesia dikenakan berbagai biaya tambahan seperti bea masuk, PPN 11 persen, hingga biaya distribusi lokal, termasuk margin dari Apple Authorized Reseller.

Kalau harga dasarnya saja sudah naik, maka seluruh komponen pajak dan margin reseller akan ikut naik juga, karena dihitung berdasarkan nilai barang.

Baca juga: Balas Tarif Trump, China Selidiki Google, Nvidia, Intel soal Monopoli

Apple disuruh buat iPhone di dalam negeri

Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick mengusulkan agar Apple memproduksi iPhone langsung di dalam negeri (AS). Namun, solusi ini juga bukan tanpa konsekuensi.

Menurut analis senior di Counterpoint Research, Gerrit Schneemann, membangun industri produksi iPhone di Amerika tak semudah membalikkan telapak tangan.

Pasalnya, Apple akan menghadapi tantangan luar biasa, mulai dari membangun rantai pasok, merekrut tenaga kerja, hingga membuat fasilitas produksi, yang mana semuanya berbiaya sangat tinggi, bahkan kemungkinan lebih mahal dari dampak tarif Trump.

Jadi, Apple diramalkan akan terus memproduksi iPhone di luar negeri dan mencari cara untuk mengatasi pajak tambahan untuk mengimpornya ke AS.

Sebelumnya, di masa jabatan pertamanya, Trump juga memberlakukan tarif Trump. Namun, ketika itu, Trump disebut memberikan pengecualian terhadap beberapa produk Apple dari kebijakan tambahan pajak impor ini.

Untuk kebijakan tarif Trump yang baru di periode pemerintahan keduanya ini, belum ada indikasi akan adanya pengecualian serupa, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari The New York Post, Senin (7/4/2025).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat