cpu-data.info

Beginilah "E-Government" Seharusnya Berjalan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (23/6/2022).
Lihat Foto

MENTERI Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, geleng-geleng kepala melihat banyaknya aplikasi (apps) -mencapai 24.000- tersebar di berbagai kementerian dan lembaga (K/L). Sebagai Menkeu, Sri Mulyani menyoroti betapa borosnya anggaran aplikasi sementara fungsionalitasnya berbanding terbalik: sangat tidak efisien. Ini baru di level pemerinitah pusat.

Ketika saya melakukan asistensi kebijakan untuk salah satu pemda di pulau Jawa, betapa terkejutnya saya bahwa ternyata masing-masing dinas memiliki key performance indicator (KPI) yaitu membuat aplikasi.

Jika dikulik-kulik sepertinya pemborosan dan inefisiensi serupa akan kita temui pada hampir semua daerah. Langkah ke depan yang dikatakan Sri Mulyani, yaitu mengintegrasikan seluruh data K/L ke dalam satu database (one data) sebetulnya sudah tepat. Bahkan menurut saya sangat patut dinanti.

Akan banyak masalah yang seharusnya dapat terselesaikan jika one data benar-benar direalisasikan. Selain efisiensi anggaran, one data dapat meminimalisasi gangguan keamanan siber (ini diakui Sri Mulyani), kemudahan pelayanan publik, mencegah fraud, hingga terwujudnya keselarasan seluruh institusi pemerintah.

Baca juga: Sri Mulyani Keluhkan 24.000 Aplikasi Pemerintah Bikin Boros Anggaran, Menkominfo: Akan Ditutup

Data penerima bantuan sosial, misalnya, menjadi lebih tertata karena one data mencegah terjadinya data ganda akibat masing-masing institusi sebelumnya memiliki aplikasi sendiri-sendiri. Korupsi dalam pemerintahan dapat ditekan jika one data dapat diawasi oleh publik.

Tentu saja gagasan one data ini harus sampai ke level pemerintahan daerah. Saya kira ini menjadi langkah awal baik untuk merealisasikan janji kampanye Jokowi saat pilpres lalu: e-government.

Kepemimpinan kolaboratif

Secara harafiah istilah e-government memang merujuk pada tata kelola pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Namun itu bukan hanya soal membuat aplikasi semata. Aplikasi hanyalah sarana fisik dalam e-government yang sebetulnya berada di posisi hilir. Yang tidak kalah penting adalah apa yang terdapat di posisi hulu, yaitu realitas masyarakat kita yang semakin berjejaring (network society).

Kita harus memahami bahwa informasi dan komunikasi kini terdesentralisasi. Bukan hanya milik pemerintah ataupun media massa, tetapi milik semua orang. Setiap individu yang memiliki akses TIK (seperti smartphone) artinya dapat menjadi nodus (simpul) yang tidak hanya mengonsumsi melainkan juga memproduksi informasi.

Sosiolog Manuel Castells mengistilahkannya dengan mass-self communication menggantikan era mass communication dengan media massa sebagai sumber utama informasi saat itu. Disebut “self” karena proses komunikasi semakin personal dalam arti setiap individu dapat menjadi agen independen yang mampu membangun jejaring informasinya sendiri.

Menteri Komunikasi dan Informatika Jhony G. Plate, memberikan Penghargaan E-government Award kepada Pemprov Banten saat pembukaan rangkaian acara Gerakan Menuju 1000 Smart City 2019, Senin (4/11). Menteri Komunikasi dan Informatika Jhony G. Plate, memberikan Penghargaan E-government Award kepada Pemprov Banten saat pembukaan rangkaian acara Gerakan Menuju 1000 Smart City 2019, Senin (4/11).
E-government mestilah dibangun di atas asumsi network society tersebut. Karena dalam realitas jejaring, negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor yang memegang kekuasaan penuh atas informasi. Negara (baca: pemerintah) tidak lain menjadi salah satu simpul yang berjejaring dengan warga mereka sendiri.

Ini menjadi penting karena dalam praktiknya, e-government bukan berarti semata digitisasi pemerintahan (memindahkan sumber daya secara digital), melainkan juga membangun tata kelola negara yang bersifat sinergis. Sinergitas menjadi aspek penting karena realitas jejaring menunjukkan keterhubungan. Adanya keterhubungan menandakan pentingnya jalinan kerja sama.

Baca juga: Kominfo Tutup 24.000 Aplikasi Pemerintah, Siapkan Satu Super App Layanan Publik

Dengan demikian, dimensi pemimpin menjadi sangat penting terutama terkait dengan apa yang dikatakan Bryson, Crosby & Stone (2015) sebagai kepemimpinan kolaboratif. Kepemimpinan ini merujuk pada keseluruhan elemen negara secara paripurna, baik mereka yang berada di eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif.

Konsep-konsep di atas dapat diformulasikan berikut: pertama-tama TIK sebagai infrastruktur e-government diposisikan sebagai fasilitator (enablers) yang memungkinkan terjadinya kolaborasi. Namun TIK tentu saja hanya menjadi satu sisi karena teknologi tidak mungkin terpisahkan dari manusia dan masyarakat sebagai pengguna (users).

Posisi pemimpin menjadi sentral karena mereka yang memegang resources berupa anggaran negara dengan jaminan payung konstitusi. Karena informasi terdesentralisasi, pemimpin negara mestilah memanfaatkan TIK untuk membangun kolaborasi dengan pihak-pihak tidak hanya sesama pemerintah, melainkan juga unsur non-pemerintah lainnya, seperti: civil society, para saintis, komunitas lokal, dan seterusnya.

Krisis akibat tsunami Covid-19 mengajarkan kita betapa pentingnya kepemimpinan kolaboratif. Dalam mengatasi krisis, pemerintah nyatanya tidak dapat berjalan sendiri. Kita dapat melihat saat gelombang varian delta memuncak di medio 2021, gerakan akar rumput memanfaatkan kapital sosial masyarakat untuk saling menolong ketika banyak korban berjatuhan. Seperti gerakan digital “warga bantu warga” yang menjadi jembatan penghubung antara para penolong dengan korban saat itu. Mereka berbagi informasi tentang stok tabung oksigen, obat-obatan, makanan, yang kemudian secara efektif terdistribusi kepada para korban Covid-19 yang membutuhkan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat