cpu-data.info

Perkembangan Terbaru AI Awal 2025 (Bagian I)

Ilustrasi artificial intelligence
Lihat Foto

MEMASUKI triwulan pertama tahun ini, rasa-rasanya kita sudah semakin sulit lepas dari AI (Akal Imitasi/Artificial Intellegence).

Sebab, fungsinya riil terasa seluruh lapisan, bukan teknologi yang penampakannya canggih keren tapi tak benar-benar berguna.

AI jelas berlipat ganda manfaat riil, beribu dampaknya, serta berjuta kontribusinya dibandingkan teknologi keren sebelumnya --yang akhirnya layu sebelum berkembang-- semacam Metaverse, Google Glass, Apple Newton, dst.

Maka itu, banyak pertanyaan awal tahun sampai ke penulis: Apakah AI akan menciptakan singularitas teknologi (masa ketika kecerdasan buatan berkembang jauh sehingga melampaui kecerdasan manusia dan akhirnya mengubah peradaban umat manusia)?

Akan hal ini, penulis memiliki pemahaman sama dengan apa yang ditulis Kamer Daron Acemo?lu, Ekonom Amerika Serikat kelahiran Turkiye pemenang Nobel Ekonomi 2024.

"Persentase perusahaan yang benar-benar menggunakan AI tampaknya relatif kecil, dan mereka menggunakannya dengan cara yang tidak memberikan manfaat besar bagi perekonomian. Beberapa perusahaan sedang bereksperimen dengannya. Sementara itu, dari perusahaan yang telah menggunakannya ke bisnis sehari-hari, kebanyakan hanya menggunakan untuk hal-hal seperti pemasaran yang dipersonalisasi dan layanan pelanggan otomatis. Hal ini tidak terlalu menarik," kata dia.

Baca juga: Review dan Outlook Industri ICT Indonesia 2025

Peter Dizikes menuliskan,“ Meskipun ada beberapa prediksi bahwa AI akan menggandakan pertumbuhan PDB AS, Acemoglu memperkirakan AI akan meningkatkan PDB sebesar 1,1 persen hingga 1,6 persen selama 10 tahun ke depan, dengan peningkatan produktivitas tahunan sekitar 0,05 persen. Penilaian ini didasarkan pada estimasi terkini tentang berapa banyak pekerjaan yang terpengaruh—tetapi menurutnya dampaknya akan terarah.” (MIT Technology Review, 25 Februari 2025)

Jadi, singkatnya, Acemoglu tidak terseret arus hype AI dan mengajak dunia untuk kritis dan rasional terhadap AI. Di sisi lain, tidak juga pesimistis pada AI layaknya seorang luddites yang antiteknologi.

Ia mengajak pada suatu pendekatan rasional. AI perlu dihitung dengan cermat cost-benefit-nya. Atau lebih lengkap lagi cost-risk-benefit-nya.

Pada titik awal tulisan ini, penulis me-resume bahwa AI memang telah mampu mengungguli manusia dalam beberapa tugas, seperti pengenalan gambar, penalaran visual, dan pemahaman bahasa.

Namun, pada tantangan yang lebih kompleks—seperti matematika tingkat lanjut, pemahaman konteks visual secara mendalam, dan perencanaan strategis—kemampuan AI masih belum sebanding dengan kecerdasan manusia.

Merujuk riset Eric Zhou and Dokyun Lee tentang "generative artificial intelligence, human creativity, and art, PNAS Nexus", Maret 2024, nyata terjadi adanya dampak signifikan AI generatif terhadap kreativitas manusia dan produksi seni.

Dengan menganalisis lebih dari 4 juta karya seni dari 50.000 pengguna unik, studi ini mengungkap, adopsi AI teks ke gambar meningkatkan produktivitas kreatif manusia sebesar 25 persen.

Selain itu, efektif meningkatkan nilai karya seni sebesar 50 persen berdasarkan kemungkinan mendapatkan favorit per tampilan.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kebaruan konten dan visual yang dihasilkan menurun. Ini bisa kita rasakan ketika kita terus “mengejar” sebuah jawaban AI, semisal ChatGPT, kecenderungannya tidak memberi jawaban yang benar-benar baru, tapi sekadar merangkai kata dan kalimat baru bersubstansi serupa.

Baca juga: Menerapkan Konsep SMART untuk Kecerdasan Buatan di Indonesia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat