Bukan Hanya Pengguna Biasa, CIA dan NSA Pun Pakai Ad-Blocker di Browser

- Pengguna internet sekali waktu pasti pernah dibikin kesal dengan kemunculan iklan di situs web. Jasa ad-blocker pun sering digunakan di peramban untuk memblokir promosi yang meyebalkan.
Bukan hanya pengguna biasa saja, dua agensi intel Central Intelligence Agency (CIA) dan National Security Agency (NSA) yang tergabung dalam Intelligence Community Amerika Serikat ternyata juga menggunakan ad-blocker untuk tujuan serupa.
Namun, alasan mereka lebih mengarah ke sekuriti, yakni agar komputer tidak disusupi program berbahaya. Sebab, iklan online bisa saja disisipi malware yang kemudian dapat menginfeksi perangkat.
Baca juga: Pemakaian Ad Blocker di Smartphone Meningkat di 2019
Penggunaan ad-blocker oleh Intelligence Community AS terungkap lewat sebuah surat dari anggota senat AS asal negara bagian Oregon, Ron Wyden, sebagaimana dilaporkan outlet media Motherboard.
"Saya telah mendorong pemerintah untuk merespon lebih tepat terhadap ancaman pengawasan, termasuk dari pemerintah asing dan hacker yang mengeksploitasi iklan online untuk meretas sistem federal," tulis Wyden.
Menurut Wyden, dari penyelidikan senat, ditemukan bahwa beberapa perusahaan iklan meneruskan data warga AS ke negara-negara asing yang dipandang berisiko tinggi seperti China dan Rusia.
Disebutkan bahwa NSA telah menerbitkan panduan soal ini pada Juni 2018. Isinya menganjurkan organisasi-organisasi agar memblokir iklan-iklan dari internet, berdasarkan kekhawatiran atas potensi malware di baliknya.
Kemudian, pada Januari 2021, Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA) mempublikasikan panduan serupa untuk agensi-agensi federal dengan merekomendasikan ad-blocker.
Baca juga: Mengenal PlugX, Malware yang Menyusup ke Jaringan Kementerian di Indonesia
"Agensi federal belum diharuskan menerapkan panduan NSA dan CISA ini. Namun, Chief Information Officer dari Intelligence Community memberitahu saya bahwa mereka sudah melakukannya," imbuh Wyden.
Malware di iklan online, menurut Wyden, berbahaya karena bisa mencuri, memodifikasi, atau menghapus data pemerintah.
Selain itu, lanjut dia, jejaring iklan juga mengumpulkan sejumlah besar data sensitif dari pengguna internet, seperti soal mobilitas mereka, web browsing, maupun aktivitas lainnya di internet. Data tersebut disebutnya bisa dibeli oleh "siapapun yang memiliki kartu kredit"
"Tak mengejutkan jika kemudian agen intelijen asing ingin memperoleh data itu untuk digunakan dalam peretasan, pemerasan, dan menyebarkan pengaruh," ujar Wyden.
Terkini Lainnya
- Mencoba MSI Claw 8 AI Plus, Konsol Gaming Windows 11 dengan Joystick RGB
- Cara Pakai WhatsApp Bisnis buat Promosi UMKM
- Cara Buat Kartu Ucapan Ramadan 2025 untuk Hampers lewat Canva
- Databricks Ekspansi ke Indonesia: Buka Potensi AI dan Pengelolaan Data
- GPU Nvidia RTX 5070 Ti Mulai Dijual di Indonesia, Ini Harganya
- Oppo Rilis Case dan Wallet Edisi Timnas Indonesia untuk Reno 13 F 5G
- 5 Aplikasi Al Quran untuk Mengaji Selama Puasa Ramadhan 2025
- Akamai Rilis Laporan "Defender Guide 2025" untuk Mitigasi Ancaman Siber
- Layanan Indosat HiFi Dikeluhkan Gangguan, Ada yang Sampai 9 Hari
- Cara Melihat Password WiFi di Laptop Windows 11 dengan Mudah dan Praktis
- Tabel Spesifikasi Nubia V70 Design di Indonesia, Harga Rp 1 Jutaan
- Google Bawa Fitur ala Circle to Search ke iPhone
- Microsoft Umumkan Muse, AI untuk Bikin Visual Video Game
- Chatbot AI Grok Jadi Aplikasi Terpisah, Bisa Diunduh di HP dan Desktop
- Perbedaan Spesifikasi iPhone 16 Vs iPhone 16e
- Amazon Perkenalkan Astro, Robot Pintar Penjaga Rumah
- Menkominfo Evaluasi Merger Indosat-Tri
- Update Skype Bikin Tampilan Lebih Segar dan Mirip Zoom
- Serupa tapi Tak Sama, Ini Beda Free Fire Max dengan Free Fire "Orisinal"
- Elok Musk Ejek Bentuk Roket New Shepard Milik Jeff Bezos