Pembuat Game Fortnite Ungkap Hambatan Tembus Asia Tenggara
- Pelopor mesin game "Unreal Engine" dan pembuat game Fortnite, Epic Games, mengaku masih kesulitan untuk melebarkan sayap ke pasar Asia Tenggara.
Hal tersebut dihambat oleh beberapa faktor, di antaranya seperti bahasa, konektivitas, sistem pembayaran, dan lain sebagainya yang berbeda di tiap negara.
Setidaknya begitu menurut General Manager Southeast Asia & India, Epic Games, Quentin Staes-Polet, dalam wawancara dengan KompasTekno beberapa pekan lalu.
"Menurut saya, industri game di Asia Tenggara masih sangat fragmented. Karena di kawasan ini ada perbedaan di sisi bahasa, konektivitas, pembayaran, dan beberapa hal lainnya," kata Quentin kepada KompasTekno.
Quentin menjelaskan beragam faktor tersebut bisa menjadi tantangan tersendiri bagi para pembuat (developer) game asing, seperti Epic Games yang berasal dari Amerika Serikat, untuk berkembang.
Sebab, para pengembang asing ini sejatinya perlu melakukan proses pelokalan atau penerjemahan bahasa antar menu di dalam game, sehingga lebih relevan dengan pengguna di kawasan tersebut.
Fortnite sendiri saat ini belum mendukung bahasa Indonesia, berikut bahasa negara-negara lainnya di Asia Tenggara, karena Quentin mengaku proses pelokalan tersebut terbilang cukup sulit.
Namun, apabila proses pelokalan bisa dilakukan, pengembang game sejatinya bisa sukses di kawasan yang mereka sambangi.
Quentin lantas mencontohkan pengembang game asal Singapura, Garena, yang ia anggap cukup sukses di Asia Tenggara.
Menurut dia, pembuat game Free Fire ini bisa sukses karena mereka memiliki fokus di kawasan lokal ke negara-negara tetangganya.
"Ada beberapa pengembang game yang sukses di Asia Tenggara, seperti Garena, karena mereka fokus secara lokal, sehingga mereka mengerti dan dekat dengan pengguna di kawasan tersebut," imbuh Quentin.
Baca juga: Pembuat Game Fortnite Mulai Serius Garap Pasar Indonesia
Sulit dimonetisasi
Selain proses pelokalan yang ia anggap tidak semudah membalikkan telapak tangan, pasar Asia Tenggara juga disebut kurang memihak developer game kecil atau para pembuat game independen (indie).
Di samping kawasan Asia Tenggara yang cukup luas, hal itu juga disebabkan oleh sejumlah faktor seperti proses distribusi, lokalisasi, sistem pembayaran game, dan lain sebagainya.
Sehingga, para pengembang ini sulit untuk memonetisasi game buatan mereka sendiri di pasar tersebut.
Terkini Lainnya
- Sony Aplha 1 II Diumumkan, Kamera Mirrorless dengan AI dan Layar Fleksibel
- Pengguna Threads Instagram Kini Bisa Buat Tab Feed Khusus Sendiri
- Waspada, Ini Bahayanya Menyimpan Password Otomatis di Browser Internet
- Tabel Spesifikasi Oppo Find X8 di Indonesia, Harga Rp 13 Jutaan
- Facebook Messenger Kedatangan Update Besar, Video Call Makin Jernih
- Apakah Aman Main HP Sambil BAB di Toilet? Begini Penjelasannya
- WhatsApp Rilis Fitur Voice Message Transcripts, Ubah Pesan Suara Jadi Teks
- Cara Mencari Akun Facebook yang Lupa E-mail dan Password, Mudah
- ZTE Nubia Z70 Ultra Meluncur, HP Bezel Tipis dengan Tombol Kamera Khusus
- Spesifikasi dan Harga Oppo Find X8 Pro di Indonesia
- Smartphone Vivo Y300 Meluncur, HP dengan "Ring Light" Harga Rp 4 Jutaan
- Oppo Find X8 Pro Punya Dua Kamera "Periskop", Bukan Cuma untuk Fotografi
- Ini Komponen Apple yang Akan Diproduksi di Bandung
- Inikah Bocoran Desain Samsung Galaxy S25 Ultra "Paling Dekat"?
- Jadwal M6 Mobile Legends, Fase Wild Card Hari Kedua
- Penjualan TikTok ke Amerika, Cuma Mobilnya Tidak Termasuk Mesin?
- Sony Umumkan Alpha A7C, Kamera Mirrorless Full-frame Terkecil
- Grab Disebut Bakal Dapat Pendanaan Rp 44 Triliun dari Alibaba
- LG Wing Resmi, Smartphone dengan Layar Kedua yang Bisa Diputar
- YouTube Rilis Shorts, Fitur Video Pendek Pesaing TikTok