Kena Tipu, Penjual Bitcoin Rugi Rp 1 Triliun
- Seorang penjual mata uang digital kripto Bitcoin dilaporkan menjadi korban penipuan online. Ia kehilangan uang kripto senilai nyaris 70 juta dollar AS (sekitar Rp 1,1 triliun).
Skema penipuan yang dipakai dalam kasus ini disebut "adress-poisoning". Address poisoning atau pencemaran alamat, merupakan salah satu teknik penipuan yang kerap digunakan di dunia kripto.
Teknik penipuan ini digunakan untuk mengelabuhi target atau korban, agar mau mengirim dana ke penipu. Biasanya, penipu menggunakan taktik phishing untuk menipu korban, agar mau memberikan informasi pribadi.
Terkadang, penipu juga mengeksploitasi penggunaan alamat kripto agar bisa digunakan kembali untuk beberapa transaksi, sehingga bisa menipu korban untuk mengirimkan dana ke alamat yang telah digunakan sebelumnya.
Baca juga: Raja Kripto Sam Bankman-Fried Dijatuhi Hukuman 25 Tahun Penjara
Nah, di kasus ini, penipu awalnya mengirimkan sedikit uang ke alamat korban seolah salah transfer. Namun lewat transaksi palsu itulah mereka melancarkan serangan phising untuk menghimpun data pribadi korban, sehingga bisa membuat akun palsu dengan alamat korban.
Blockchain, yang merupakan basis teknologi transaksi kripto, bersifat publik. Sehingga, cukup mudah bagi penipu untuk menemukan alamat kripto pengguna dan mengirimkan transaksi palsu.
Penjual yang menjadi korban dalam kasus ini tidak diidentifikasi. Yang jelas ia kehilangan 97 persen uang dari total aset miliknya di platform jual beli uang kripto, Coinbase. Aset yang tersisa hanya sekitar 1,6 juta dollar AS (sekitar Rp 25,6 miliar).
Adapun kasus ini diungkap oleh perusahaan keamanan blockchain, CertiK. Lewat postingan di media sosial X (dahulu Twiter), CertiX menyatakan pihaknya mendeteksi transfer bitcoin senilai 69,3 juta dollar AS ke alamat palsu.
Perusahaan keamanan blockchain lainnya, PeackShield juga menerangkan bahwa penipu memperdagangkan bitcoin curian ke ethereum sebanyak 23.000 keping koin, lalu mentransfer dananya.
Agar terhindar dari penipuan yang sama, platform jual beli uang kripto Trezor menyarankan agar pengguna memeriksa ulang setiap alamat sebelum bertransaksi. Trezor juga meminta pengguna, tidak menyalin alamat dari riwayat transaksi ketika transfer demi menghindari alamat palsu, dihimpun dari Business Insider, Senin (7/5/2024).
Baca juga: Harga Bitcoin To The Moon, FBI Peringatkan Bahaya Scam Kripto
FBI peringatkan bahaya scam kripto
Harga bitcoin pada Maret lalu melambung. Menyusul fenomena itu, Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) memperingatkan bahaya penipuan (scam) kripto.
Dalam laporan bertajuk "Internet Crime Report 2023", FBI mencatat adanya peningkatan signifikan penipuan investasi kripto pada tahun 2023 dari segi jumlah, angka demografi korban, serta modus penipuan.
Dari segi jumlah, FBI mencatat, penipuan investasi berbasis mata uang kripto meningkat dari 2,57 miliar dollar AS (sekitar Rp 41,2 triliun) pada 2022 menjadi 3,94 miliar dollar AS (sekitar Rp 63,2 triliun) pada tahun 2023. Angka ini mewakilkan peningkatan jumlah scam kripto sebesar 53 persen pada 2023.
Pusat Pengaduan Kejahatan Internet (IC3) FBI melaporkan ada 880.418 pengaduan pada tahun 2023, meningkat 10 persen dari 800.944 pengaduan pada tahun 2022.
Laporan tahun 2023 juga menyatakan bahwa jumlah kerugian akibat pengaduan ini mendekati 12,5 miliar dollar AS (setara Rp 200 triliun), meningkat 22 persen dari tahun 2022 sebesar 10,3 miliar dollar AS (sekitar Rp 165 triliun).
Baca juga: Raja Kripto Sam Bankman-Fried Terancam Penjara 115 Tahun
Sebagian besar korban scam kripto disebut berusia antara 30 tahun hingga 49 tahun. FBI mengatakan, orang lanjut usia lebih rentan terhadap penipuan yang menggunakan modus tech support atau bantuan teknis untuk urusan per-crypto-an.
Dalam penipuan investasi kripto, penipu menawarkan saran investasi kripto kepada calon korban. Kemudian, penipu membuat korban berinvestasi dalam token palsu. Nantinya, dana yang diinvestasikan akan masuk ke rekening si penipu.
Menurut laporan FBI, pelaku scam kripto memikat korban dengan janji keuntungan. Biasanya, platform jejaring sosial seperti LinkedIn, Twitter, dan Facebook digunakan oleh para penipu untuk memancing calon korban, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Gadgets360.
Terkini Lainnya
- Cara Kerja VPN untuk Membuat Jaringan Privat yang Perlu Diketahui
- Konsol Handheld Windows 11 Acer Nitro Blaze 8 dan Nitro Blaze 11 Resmi, Ini Harganya
- X/Twitter Akan Labeli Akun Parodi
- Deretan Laptop Baru Asus di CES 2025, dari Seri Zenbook hingga ROG Strix
- 5 Penyebab Tidak Bisa Lihat Profil Kontak WA Orang Lain
- Cara Logout Akun Google Photos dari Perangkat Lain
- Reaksi TikTok soal Rumor Bakal Dijual ke Elon Musk
- RedNote, Medsos China Mirip TikTok Jadi Aplikasi No. 1 di AS
- Pasar Ponsel Dunia Akhirnya Membaik, Naik 4 Persen Tahun Lalu
- 10 Jenis Cookies di Internet dan Fungsinya
- Fitur Baru ChatGPT Bisa Ngobrol ala Gen Z
- Sah, AS Perketat Ekspor Chip AI ke Pasar Global
- Cara Edit Foto Background Merah untuk Daftar SIPSS 2025, Mudah dan Praktis
- AI Grok Jadi Aplikasi Terpisah, Sudah Ada di iPhone
- Gaji CEO Apple Tim Cook Naik pada 2024, Sekian Jumlahnya
- Cerita Orang Bandung dan Jaksel Pakai Internet "Starlink" Elon Musk, Kecepatan Tembus 300 Mbps
- Sony Rilis Dua Lensa Ringkas di Indonesia, FE 24-50 Mm dan 16-25 Mm
- Good Lock, Aplikasi Eksklusif Smartphone Samsung Galaxy Tersedia di Play Store
- Jepang Pamer Perangkat 6G Pertama di Dunia, 20 Kali Lebih Ngebut dari 5G
- Perkembangan "Cyber Security" Indonesia Mutakhir (Bagian II-Habis)