cpu-data.info

Futurismo 2023: Apa yang Ditawarkan Disrupsi?

Ilustrasi artificial intelligence (AI), kecerdasan buatan.
Lihat Foto

SAAT menulis artikel ini, saya menerawang nama-nama besar futurist yang bumi ini pernah miliki: Alvin Toffler dan John Naisbitt. Mereka futurist di zaman di mana sebagian besar dari kita saat ini sedang menikmati buah-buah pemikirannya.

Ditarik ke belakang, kita juga berhutang banyak pada sosok Nikola Tesla serta Thomas Alva Edison.

Saat internet belum lahir, atau sedang dalam tahap permulaan, dan database di seluruh dunia masih terbatas jumlahnya, pun juga aksesnya, mereka sudah memberikan panduan apa yang akan terjadi di pasar serta industri di masa depan, perilaku masyarakat seperti apa yang diakibatkannya, berubahnya preferensi, serta diadopsinya berbagai ragam teknologi untuk mempermudah keseharian masyarakat.

Tesla dan Edison bahkan melampaui zaman mereka dengan menghadirkan masa depan di zaman itu. Hari ini, mereka semua sudah pergi ke Nirwana.

Hari ini pula ceritanya sudah berbeda. Penggunaan internet sudah sangat masif, media sosial yang secara kolektif ‘jumlah populasinya’ sudah nyaris sama jumlahnya dengan penduduk bumi diadopsi sebagai standar berjejaring, lalu berkembangnya blockchain serta web3 (decentralized ecosystem) serta dunia metaverse (dengan Extended Reality-nya), hingga makin kompleksnya algoritma kecerdasan buatan yang memiliki kemampuan mencipta nyaris sempurna, kini dunia menghadirkan para futurist baru, dan tak semuanya berlatar belakang engineer, ahli IT, atau ilmuwan. Ada yang ekonom, pengusaha, designer, dll.

Setidaknya ada dua nama besar yang mulai dikenal di kalangan para futurist junior, juga para pelaku teknologi, serta industrialist di Silicon Valley: Jane McGonigal (Berkeley, IFTF, Stanford, juga seorang Game Designer) dan Bernard Marr (advisor di banyak raksasa teknologi di Silicon Valley).

Apa yang dilakukan kedua orang ini? Memprediksikan kecenderungan-kecenderungan masa depan, dan bila memungkinkan, membantu merealisasikannya.

Bagi para futurist modern seperti mereka, masa depan tak boleh hanya diprediksi, tapi harus direalisasikan karena hal tersebut akan menjadi lebih mudah bagi industri apapun dan di manapun untuk mengalokasikan seluruh sumber daya yang tepat secara kolektif – dan terkadang dibantu negara melalui berbagai regulasi serta insentif – serta fokus pada tercapainya gambaran masa depan tersebut secara nyata.

Lalu apa yang bisa kita pelajari dalam dua dekade terakhir ini? Kita lebih memahami peta jalan dan pola menuju masa depan!

Masa depan bernama 2023

What? Itu nama tahun! Betul, itu nama tahun, sekaligus penanda bahwa apa yang terjadi sepanjang masa pandemi 2020, 2021, dan 2022 harus dikonversi secara total dengan terobosan-terobosan baru tahun depan yang polanya sudah kelihatan di mana-mana.

Tahun 2023 bukan lagi soal proyeksi, tapi realisasi. Jujur saja, dinamika industri ini nyaris terhenti sepanjang pandemi meski banyak terobosan digitalisasi yang – sayangnya – sebagian besar berumur pendek.

Ini kira-kira yang kemungkinan besar akan direalisasikan secara masif, dan diadopsi di berbagai lini bisnis.

Equilibrium Baru. Kira-kira perjalanan tiga tahun pandemi ini akan ditinggalkan dengan bayang-bayang resesi global tahun depan.

So what? Apakah lalu semuanya berhenti bergerak, rajin menabung, berhemat besar-besaran? Bukankah akhir tahun 2020 kita juga mengalami trauma serupa, bahwa pandemi tak jelas kapan berakhir, semua harus ‘berhati-hati’ tahun depan (2021), alias kencangkan ikat pinggang. Nothing significant really happened.

Akhir 2021 yang penuh kebrutalan Covid-19 varian Delta juga mengulangi ketakutan yang sama, dan sejauh ini 2022 kita lampaui bersama-sama dengan cara kita masing-masing.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat