cpu-data.info

RI Punya Rp 7 Triliun di Merger Indosat–Tri

Ilustrasi merger Indosat Ooredoo dengan Hutchison Tri Indonesia.
Lihat Foto

Mergernya saja belum tuntas, kritikan atau kenyinyiran sudah mulai. Dan Presiden Jokowi ditagih janji kampanyenya yang akan membeli kembali (buyback) Indosat dari pemiliknya, Kelompok Ooredoo dari Qatar, yang tidak terpenuhi juga.

Sejak isu itu muncul, bahkan ketika juga mantan cawapres Sandiaga Salahuddin Uno menghitung mudah membeli kembali Indosat karena harga sahamnya ketika itu sekitar Rp 2.000, reaksinya sudah jelas. Mustahil Qatar mau menjual Indosat karena waktu mereka beli harga sahamnya Rp 7.000, dan Qatar bukanlah pedagang asongan, yang beli barang untuk dijual cepat.

Ketika nanti isu buyback mereda, dalam waktu dekat serangan terhadap pemerintah akan fokus pada berkurangnya saham pemerintah yang turun dari 14,29% jadi hanya 9,63 %. Pemerintah akan jadi sasaran tembak, dikatakan bodoh mau menerima saja berkurangnya saham yang berarti negara rugi.

Merger, akuisisi atau konsolidasi operator seluler bagaimanapun akan menguntungkan industri, yang pada akhirnya menguntungkan masyarakat. Akan terjadi efisiensi besar-besaran dengan dikuranginya penggunaan devisa negara, karena yang tadinya dua operator mesti beli dua BTS, sekarang cukup satu.

Pengadaan BTS, alat-alat teknik lainnya menggunakan uang asing, juga penyewaan tower, akan mengalami pengurangan dengan hasil jangkauan jaringan yang lebih luas. Namun efek negatifnya bisa merambah ke efisiensi di sumber daya manusia akibat terjadinya duplikasi SDM di semua bidang karena kedua perusahaan menjalankan bisnis yang serupa.

Indosat menjadi kebanggaan Qatar yang kaya raya karena dari jumlah pelanggannya di 12 negara di Timur Tengah, Afrika dan Asia Tenggara yang mencapai 133 juta, 60 juta lebih disumbang Indosat. Setelah bergabungnya Hutchison Tri dari Hongkong, jumlah pelanggan mereka akan menjadi 104 juta.

Dikelola PPA

Boleh dikata, Qtel, sebelum berubah jadi Ooredoo, dikibuli habis oleh kelompok Temasek Singapura yang membeli Indosat dengan Rp 5,62 triliun tahun 2002, di masa Presiden Megawati. Lalu dijual ke Qatar Telecom dengan harga Rp 1,8 miliar dollar AS (sekitar Rp 16,4 triliun) pada 2008, dengan kurs dollar AS saat itu sekitar Rp 9.000.

Temasek untung sekitar Rp 11 triliun hanya dalam waktu enam tahun, dan Qatar mau beli karena potensi pasar Indonesia dikatakan sangat besar, pelanggan seluler belum sampai 100 juta untuk penduduk 250 juta. Tetapi Qatar mendapati ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) Indonesia hanyalah 3 dollar AS, sekitar Rp 27.000, padahal di negerinya ARPU sampai 80 dollar AS.

Ooredoo tidak pernah menyesal, tidak pula berniat menjual kembali Indosat, karena mereka tidak butuh uang. Mereka punya kebanggaan besar dengan 60,3 juta pelanggan, sebelum merger.

Perjalanan Indosat tiga-empat tahun terakhir memang tidak bagus, yang puncaknya pada 2018 mengalami kerugian hingga Rp 2,4 triliun. Terus menurun ruginya pada tahun 2020, dengan pendapatan Rp 28 triliun, masih menanggung rugi Rp 716,7 miliar.

Sebagai pemilik sebagian saham di perusahaan yang rugi, Indosat tidak ditempatkan di bawah Kementerian BUMN tetapi dimasukkan ke PPA (Perusahaan Pengelola Aset) bersama perusahaan rugi lainnya.

Tetapi ketika harga saham Indosat Ooredoo beberapa hari lalu sempat di atas Rp 7.500 dan terendah Rp 6.500, dengan 9,63%, kalau mau pemerintah saat ini bisa menjualnya dan mendapat uang sekitaran Rp 7 triliun.

Tanda-tanda kesempatan itu sudah ada, di sepanjang semester 1 tahun ini Indosat melejit, mencatat pendapatan Rp 14,983 triliun, meraih laba Rp 5,67 triliun. Mengagumkan karena bertepatan dengan saat negosiasi untuk merger dengan Hutchison.

Untuk merger, Kelompok Hutchison milik taipan Hongkong, Li Kha-sing itu harus menyetor dana sebesar 387 juta dollar AS, hampir Rp 6 triliun, untuk 50% saham di Ooredoo Hutchison Asia.

Tetapi dalam perusahaan hasil gabungan, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), ada saham Ooredoo Hutchison Asia sebesasr 65,64%, saham PT Tiga Telekomunikasi Indonesia (TTI) 10,77%, Pemerintah Indonesia 9,63% selain satu lembar saham Dwiwarna dan publik 13,96%.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat