cpu-data.info

Indeks Kebebasan Internet di Indonesia Kembali Turun, Ini Penyebabnya

Ilustrasi internet.
Lihat Foto

- Organisasi non-profit Freedom House kembali merilis laporan kebebasan internet dunia untuk tahun 2021. Dalam laporan tersebut, indeks kebebasan internet di Indonesia kembali menurun dari tahun lalu.

Indonesia mendapat skor 48 dari maksimal 100 poin, menurun satu angka dari tahun lalu yang meraih skor 49. Di wilayah Asia Pasifik, Indonesia menempati urutan ke-10 dari total 17 negara.

Dengan skor tersebut, Indonesia masuk kategori partly free atau "bebas sebagian", masih sama seperti beberapa tahun belakang.

Catatan indeks kebebasan internet Indonesia selama beberapa tahun ke belakang memang terus menurun. Hanya pada 2018 skor kebebasan internet di Indonesia sempat naik.

Pada 2016, Indonesia mendapat skor cukup tinggi, yakni 56. Kemudian pada 2017, skor tersebut turun menjadi 53.

Pada 2018, Skor itu itu sempat naik satu angka menjadi 54, namun, turun kembali ke angka 51 pada 2019. Penurunan berlanjut hingga tahun 2020 dengan raihan skor 49 dan 2021 dengan skor 48.

Baca juga: Benarkah Revisi UU ITE Mengancam Kebebasan Berekspresi?

Penyebab

Laporan Freedom House, mencatat adanya sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap merosotnya indeks kebebasan internet di Indonesia.

Salah satunya adalah pemberlakuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik.

Aturan ini, diundangkan pada November 2020 dan berlaku efektif mulai 24 Mei 2021. Regulasi tersebut mengatur hal-hal tentang penyelenggaraan sistem elektronik, seperti pendaftaran, tata kelola moderasi informasi atau dokumen elektronik, dan permohonan pemutusan akses atas informasi/dokumen yang dilarang.

Seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Permenkominfo 5/2020, setiap PSE Lingkup Privat yang ada di Indonesia memang diwajibkan untuk mendaftarkan diri, sebelum layanannya bisa digunakan oleh masyarakat Indonesia.

Bila tak melakukan pendaftaran sebagaimana mestinya, Kominfo akan memberikan sanksi administratif berupa pemblokiran.

Ketentuan tersebut juga termuat dalam Pasal 7 ayat 2 dalam Permenkominfo 5/2020 yang berbunyi, "Dalam hal PSE Lingkup Privat tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Menteri memberikan sanksi administratif berupa pemutusan akses terhadap Sistem Elektronik (access blocking)".

Baca juga: Kominfo Perpanjang Batas Akhir Pendaftaran PSE di Indonesia

Setelah diundangkan, Permenkominfo 5/2020 menuai kritik dari Perkumpulan pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara (Safenet) dan mendesak agar Kementerian Kominfo mencabut regulasi tersebut.

Alasan utama desakan itu adalah karena Permenkominfo 5/2020 dibahas secara diam-diam dan secara substantif bisa memberikan wewenang berlebihan pada Kemenkominfo. Selain itu, Permenkominfo 5/2020 juga berpotensi memperburuk hak-hak digital masyarakat Indonesia.

Hal itu juga disinggung oleh Freedom House yang menyebut bahwa platform yang melanggar ketentuan hanya diberi waktu empat jam di situasi "mendesak" atau 24 jam di situasi sebaliknya, untuk menghapus konten "terlarang".

Freedom House juga menyinggung penerapan undang-undang untuk menyensor konten LGBT+, kritik terhadap islam, dan komentar tentang gerakan kemerdekaan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Selain keprihatinan atas Hak Asasi Manusia (HAM), tenggat waktu penghapusan konten juga menimbulkan pertanyaan apakah selain perusahaan besar, memiliki cukup sumber daya untuk mematuhi aturan dan bertahan di pasar Indonesia.

Aturan yang berlaku juga disebut mendorong perusahaan untuk menerapkan sistem pemantau otomatis yang seringnya berlebihan atau tidak konsisten untuk menandai dan menyensor apa yang disampaikan pengguna platform.

Laporan Freedom House soal indeks kebebebasan internet ini bisa dilihat melalui tautan berikut ini.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat