Benarkah Revisi UU ITE Mengancam Kebebasan Berekspresi?
- Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, yang mulai berlaku pada Senin (28/11), tampaknya masih mengundang kontroversi terutama pasal pencemaran nama baik.
Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi, Noor Iza, menegaskan bahwa revisi UU ITE bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang adil bagi para pengguna internet.
Salah satu revisi adalah mengatur pasal pencemaran nama baik menjadi delik aduan, yang berarti hanya bisa diproses secara hukum jika dilaporkan oleh korban atau sesorang yang merasa menjadi sasaran.
"Misalnya ada seseorang mau mengadukan bisa saja. Kan seseorang bebas mengadukan tinggal nanti apakah dalam penyidikan memang mention atau status tersebut memang betul mengarah ke orang tadi nanti dibuktikan di dalam pengadilan," tutur Noor Iza.
"KUHP kan jelas. Pencemaran nama baik harus jelas kepada siapa, nanti bukti-bukti akan dibuktikan di pengadilan," tambah Noor Iza.
Hukuman diringankan
Perubahan lain adalah ancaman hukuman pencemaran nama baik diturunkan dari maksimal enam tahun menjadi empat tahun sehingga tersangka pelaku pencemaran nama baik tidak akan ditahan.
Alasannya, dalam KUHP disebutkan bahwa penahanan perlu dilakukan jika ancaman penjara di atas lima tahun.
UU ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 telah mengundang banyak kecaman karena dianggap membatasi publik untuk memberikan kritik. Salah satu yang menjadi korban adalah Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu rumah sakit swasta melalui e-mail pribadi yang kemudian tersebar di dunia maya.
Prita kemudian ditahan walau Pengadilan Tangerang akhirnya membebaskannya dari pencemaran nama baik.
Sebaiknya dihapus
Dengan revisi ini, maka tidak akan ada lagi penahanan terhadap tersangka pencemaran nama baik namun Donny Budi Utoyo -dari kelompok pengawas informasi, komputer dan teknologi (ICT Watch)- tetap ada risiko pengguna internet dikenakan pasal pencemaran nama baik akibat urusan sepele.
Donny juga menilai pasal pencemaran nama baik sebaiknya dihapuskan karena dianggap dapat membatasi kebebasan berekspresi.
"Ada atau tidak adanya pasal 27 bukan menjadi jaminan kalau orang tidak akan menjadi lebih benar di internet atau tidak menjadi jaminan kalau orang tidak akan membalas dendam dengan menggunakan pasal tersebut dengan melaporkan orang lain", kata Donny.
Supriyadi Widodo Eddyono -ahli hukum ITE dari Institut Reformasi Pengadilan Kriminal (ICJR)- juga sepakat agar pasal mengenai pencemaran nama baik lebih baik dihapuskan.
Terkini Lainnya
- Jepang Siapkan Superkomputer Terkuat di Dunia
- Arti Istilah “Ang Ang Ang” yang Lagi Ramai di TikTok
- YouTuber iShowSpeed Live Streaming di Indonesia, Makan Gorengan dan Nasi Padang
- Cara Mengatasi Airdrop Menunggu Terus Menerus dan Tidak Bisa Menerima Data di iPhone
- Tampilan Control Center iPhone di iOS 18 Bisa Dimodifikasi, Begini Caranya
- Awas! iPad Jangan Update ke iPadOS 18 Dulu, Bisa "Freeze"
- 10 Fitur iOS 18 yang Menarik Dicoba, Bisa Ganti Ikon Aplikasi dan Control Center
- Chat Gamer di Discord Kini Tidak Bisa Diintip Hacker
- Cerita Kontingen E-sports Jabar, Sabet Emas PON Nomor Free Fire meski "Bentrok" Turnamen ASEAN
- Kapal Induk Italia "Cavour" Sandar di Jakarta, Bawa Jet Tempur F-35
- Tidak Ada Game PC di PON XXI 2024 Cabor E-sports, Kenapa?
- iPhone dan HP Android Akhirnya Akur, Bisa "SMS-an" Gratis
- Office LTSC 2024 Resmi, Tanpa Internet dan Tak Perlu Berlangganan
- Kompetisi Microsoft Excel Digelar di Indonesia untuk Pertama Kalinya, Final di Las Vegas
- Game "Final Fantasy XVI" Meluncur di PC, Ini Harganya di Indonesia