cpu-data.info

Nasib Maskapai Indonesia di Ujung Tanduk

Pesawat Garuda Indonesia siap lepas landas di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten, Rabu (17/4/2013).
Lihat Foto

Patut diacungi jempol upaya asosiasi maskapai penerbangan sipil Indonesia (INACA) yang berupaya mencari jalan keluar bagi maskapai nasional yang hidupnya sangat sulit di masa pandemi Covid-19 ini.

Bekerja sama dengan tim riset dari Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung, INACA menggagas white paper atau semacam peta jalan menuju pemulihan kesehatan maskapai nasional.

Pada pertengahan April lalu, INACA dan tim Unpad menggelar webinar, setelah sebelumnya menggelar tiga kali Focus Group Discussion dengan tema yang serupa.

Dalam paparannya, tim riset Unpad memaparkan bahwa bisnis penerbangan nasional akan mulai membaik secara optimis pada 2022. Namun kajian tim juga menyatakan bahwa kondisi optimis tersebut sulit dicapai dan memaparkan ada kondisi moderate yaitu pada tahun 2024 dan kondisi pesimis tahun 2025.

Sedangkan penerbangan internasional yang dilakukan di Indonesia, optimis membaik pada tahun 2023, moderate tahun 2025 dan pesimis tahun 2026.

“Semua itu tergantung dari penanganan pandemi Covid-19 di tanah air, terutama percepatan vaksinasi pada masyarakat,” ujar Yayan Satyakti, ketua tim peneliti dari Unpad tersebut.

Yayan sendiri meyakini bahwa kondisi moderate lebih mungkin terjadi. Hal senada disampaikan juga oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani dan Ketua Masyarakat Hukum Udara Indonesia, Andre Rahardian yang menjadi penanggap dalam webinar tersebut.

Artinya, dalam kondisi seperti saat ini, maskapa penerbangan domestik akan kembali seperti sedia kala pada tahun 2024 dan penerbangan internasional pada tahun 2025. Dengan asumsi, sekali lagi, penanganan pandemi dan terutama program vaksinasi massal oleh pemerintah terjadi as usual seperti saat ini.

Maskapai di ujung tanduk

Sektor penerbangan, nasional maupun global, memang menjadi salah satu sektor yang terdampak paling parah dari pandemi Covid-19.

Data PT. Angkasa Pura 1, dari 15 bandara besar yang dioperasikannya pada tahun 2020 lalu tercatat pergerakan penumpang turun 61 persen dibanding tahun 2019, dari 81,95 juta menjadi 31,85 juta pergerakan penumpang.

Sedangkan pergerakan kargo udara turun 7,4 persen dari 481,18 ribu ton menjadi 445,13 ribu ton. Pergerakan pesawat turun 45,3 persen, dari 704.669 pergerakan menjadi 385.345 pergerakan.

Artinya dalam setiap penerbangan pesawat rata-rata hanya mengangkut 82,6 orang. Jika kapasitas tiap pesawat rata-rata 180 kursi, maka tingkat keterisian (load factor) hanya 45,8 persen.

Sedangkan data dari PT Angkasa Pura 2, dari 19 bandara yang dioperasikan, jumlah pergerakan penumpang hanya 35,54 juta pergerakan. Sedangkan pergerakan pesawat 412.186 pergerakan. Rata-rata keterisian pesawat dengan demikian hanya sekitar 49 persen.

Dengan load factor di bawah 50 persen, tentu dapat dikatakan maskapai-maskapai kita sedang tidak sehat.

Pekerja melakukan bongkar muat kargo dari pesawat Garuda Indonesia saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/4/2021). Pemerintah menerbitkan aturan pengendalian transportasi mudik, baik moda darat, udara, laut dan perkeretaapian pada 6 - 17 Mei 2021, dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Ampelsa/aww.ANTARA FOTO/AMPELSA Pekerja melakukan bongkar muat kargo dari pesawat Garuda Indonesia saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Blangbintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/4/2021). Pemerintah menerbitkan aturan pengendalian transportasi mudik, baik moda darat, udara, laut dan perkeretaapian pada 6 - 17 Mei 2021, dalam rangka pencegahan penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Ampelsa/aww.

Apalagi jika melihat harga jual tiket yang tarifnya rata-rata juga berada di batas tengah hingga batas bawah dari tarif yang ditentukan oleh Kementerian Perhubungan. Pendapatan maskapai pun sangat minim. Bisa dikatakan, maskapai kita sudah jatuh tertimpa tangga.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat