cpu-data.info

Ada Apa dengan Penerbangan Indonesia?

Pesawat Boeing 737-300 milik Trigana Air Service tergelincir di Bandara Sentani Jayapura, Papua, Selasa (25/02/2020)
Lihat Foto

Kecelakaan yang terjadi pada pesawat kargo B737-400 Trigana Air di Bandara Halim Perdanakusuma pada Sabtu, 20 Maret 2021 menimbulkan pertanyaan besar terkait penerbangan nasional. Kejadian tersebut terjadi kurang dari 3 bulan sejak kecelakaan pesawat B737-500 Sriwijaya Air pada 9 Januari 2021 lalu. Ironisnya, kedua kecelakaan tersebut terjadi di sekitar ibukota negara, Jakarta.

Menurut ketentuan dalam Annex 13 Aircraft Accident and Incident Investigation dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) serta Civil Aviation Safety Regulation (CASR) RI part 830 sub part 830.2, definisi kecelakaan pesawat, di antaranya adalah: the aircraft sustains damage or structural failure which: a) adversely affects the structural strength, performance or flight characteristics of the aircraft, and b) would normally require major repair or replacement of the affected component.

Atau dengan kata lain, pesawat mengalami kerusakan berat yang berpengaruh pada struktur pesawat dan memerlukan perbaikan atau penggantian komponen yang banyak.

Baca juga: Link Download Laporan Awal Kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 di Situs KNKT

B737-400 PK YSF Trigana Air mengalami total loss, tidak bisa diperbaiki sehingga untuk evakuasi pesawat harus dipotong-potong. Dengan demikian, PK-YSF bisa dikatakan mengalami kecelakaan (accident).

Selain dua kecelakaan itu, dalam tiga bulan pertama di tahun 2021 ini juga banyak terjadi kejadian dan kejadian serius di penerbangan.

Pada 17 Februari, Garuda Indonesia GA 642 mengalami rusak mesin saat terbang dari Makassar menuju Gorontalo sehingga harus kembali ke Makassar.

Anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memeriksa bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta - Pontianak yang jatuh di perairan Pulau Seribu di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (10/1/2021). Temuan bagian pesawat selanjutnya akan diperiksa oleh KNKT sedangkan potongan tubuh korban diserahkan kepada DVI Polri untuk identifikasi lebih lanjut.(/GARRY LOTULUNG)/MUHAMMAD NAUFAL Anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memeriksa bagian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta - Pontianak yang jatuh di perairan Pulau Seribu di Dermaga JICT 2, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (10/1/2021). Temuan bagian pesawat selanjutnya akan diperiksa oleh KNKT sedangkan potongan tubuh korban diserahkan kepada DVI Polri untuk identifikasi lebih lanjut.(/GARRY LOTULUNG)

Pada 6 Maret 2021, Batik Air ID-6803 rute Jambi-Jakarta mendadak harus Return To Base (RTB) ke Jambi karena roda depan pesawat bermasalah sehingga pesawat terhenti di tengah runway dan mengakibatkan bandara ditutup sementara.

Pada 8 Maret 2021, Batik Air ID-6561 rute Palu - Jakarta mengalami penundaan keberangkatan karena ditemukan garis yang melengkung pada permukaan lapisan kaca kokpit di bagian kiri.

Pada 12 Maret 2021, Citilink QG776 terpaksa kembali ke Bandara Soekarno-Hatta sesaat setelah lepas landas karena ada gangguan tekanan udara di kabin.
Tanggal 20 Maret, Batik Air penerbangan ID-6561 dari Palu harus menunda lepas landas dan terpaksa Return To Apron (RTA) karena pilot menemukan ada komponen yang perlu pengecekan lebih lanjut.

Baca juga: Boeing Beri Peringatan ke Pilot Pasca Jatuhnya Sriwijaya Air SJ182

Kejadian-kejadian tersebut seperti mengingatkan pada kondisi di tahun 2007, di mana di awal tahun juga terjadi 2 kecelakaan pesawat dan beberapa kejadian lain. Kecelakaan pertama menimpa B737-400 PK-KKW Adam Air yang jatuh dan hilang di perairan Majene, Sulawesi Barat pada 1 Januari 2007. Kemudian tanggal 7 maret 2007, B737-400 PK- GZC Garuda Indonesia tergelincir dn terbakar di Bandara Adisutjipto Yogyakarta.

Akibat kejadian-kejadian tersebut, otoritas penerbangan Uni Eropa memasukkan Indonesia dalam UE Ban List pada Juli 2007. Artinya semua penerbangan Indonesia dilarang terbang di atas langit Eropa karena pemerintah Indonesia dianggap tidak dapat menjamin keselamatan penerbangan nasionalnya.

Setelah itu, keselamatan penerbangan Indonesia memang meluncur tajam ke bawah. FAA sebagai otoritas penerbangan AS juga memasukkan Indonesia dalam kategori 2 karena dianggap tidak bisa mematuhi dan melaksanakan aturan-aturan keselamatan penerbangan. Sedangkan dari hasil audit keselamatan USOAP ICAO pada tahun 2014, nilai Indonesia hanya 45%, meningkat sedikit pada tahun 2016 menjadi 51%. Tetapi masih di bawah rata-rata dunia yaitu 60%.

Pemerintah bisa saja menyatakan bahwa saat ini tingkat keselamatan penerbangan nasional sudah sangat tinggi. Karena FAA sudah menaikkan Indonesia menjadi kategori 1 di tahun 2016, hasil audit ICAO sudah di angka 80,34 % di tahun 2017 dan Uni Eropa juga sudah mencabut Indonesia dari ban list sejak tahun 2018.

Namun kenyataan di lapangan, saat ini dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan sudah terjadi 2 kecelakaan dan beberapa kejadian (incident) dan kejadian serius (serious incident). Jika ditarik ke belakang, pada akhir tahun 2018 juga terjadi kecelakaan yang menimpa pesawat B737 MAX Lion Air PK-LQP jatuh di perairan Karawang dekat dengan Jakarta.

Tanggung jawab siapa?

Dalam Undang-Undang no 1 tahun 2009 tentang Penerbangan pada pasal 308, disebutkan bahwa Menteri (Perhubungan) bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan nasional. Menteri Perhubungan adalah regulator penerbangan nasional yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagai pengatur, pengawas dan pengendali penerbangan nasional.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat