Qualcomm Ternyata Sempat Ingin seperti Huawei
- Qualcomm dikenal sebagai pabrikan Snapdragon berikut aneka chip dan teknologi lain di dunia mobile. Perusahaan ini dulu sempat menjual ponselnya sendiri, tapi kemudian beralih ke belakang layar.
Pendiri Qualcomm Irwin Jacobs mengungkapkan bahwa, di masa-masa awal, perusahaannya sempat mempertimbangkan untuk menjadi seperti Huawei yang mengembangkan infrastruktur jaringan seluler dan menjual produk secara langsung.
Namun, kendati sempat membuat base station dan ponsel komersial sendiri, fokus Qualcomm ketika itu berada di hal lain. "Kami sempat memikirkannya, tapi kami ingin CDMA diadopsi di seluruh dunia," ujar Jacobs dalam sebuah wawancara dengan Wired.
Baca juga: Qualcomm Buka Toko Resmi di Tokopedia, Jual Apa?
Di awal 1990-an, Qualcomm memang sedang mendorong standar seluler Code Division Multiple Access alias CDMA. Tujuan itu akan lebih sulit tercapai seandainya Qualcomm menjadi seperti Huawei sehingga menyaingi operator-operator seluler.
Konsekuensinya baru terasa sekarang ketika Amerika Serikat tidak memiliki raksasa telekomunikasi sekaliber Huawei.
Pemerintah AS berusaha membendung Huawei karena perang dagang dengan China, tapi posisinya agak sulit karena Huawei menguasai pengembangan teknologi 5G dan produk infrastruktur jaringannya banyak dipakai di seluruh dunia, termasuk di AS.
Jacobs awalnya mengira para pemain asal Amerika Serikat akan bertahan di industri. Namun, satu per satu mereka berguguran. Motorola, misalnya, menjual bisnis infrastruktur jaringannya ke Nokia pada 2010.
Baca juga: Manuver Huawei, ZTE, dan Xiaomi Melawan Blacklist AS
Dengan membuat schip untuk perangkat mobile, Qualcomm juga turut mempermudah kompetitor dari China menyerbu pasar karena mereka bisa menelurkan produk baru dengan sangat cepat. Jacobs menyayangkan perusahaan AS tak ada yang melakukan hal serupa.
Satu hal lain yang membuat AS tak memiliki perusahaan seperti Huawei, menurut Jacobs, adalah absennya dukungan dari pemerintah terhadap para pelaku industri telekomunikasi.
"Pemerintah AS tidak memberikan support untuk riset dan pengembangan, seperti yang didapatkan oleh Huawei atau ZTE dari pemerintah mereka," ujar Jacobs, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Wired, Rabu (10/3/2021).
Terkini Lainnya
- Daftar Aplikasi Android Terbaik 2024, ShopeePay Nomor 1 di Indonesia
- Instagram Hapus Fitur "Ikuti Hashtag", Ini Alasannya
- 5 Tips Menatap Layar HP yang Aman buat Mata, Penting Diperhatikan
- Aplikasi ChatGPT Kini Hadir untuk Semua Pengguna Windows, Tak Perlu Bayar
- Apa Itu Spam di WhatsApp? Ini Penjelasan dan Ciri-cirinya
- Casio Umumkan Ring Watch, Jam Tangan Cincin Harga Rp 2 Juta
- Cara Menghapus Akun Facebook yang Sudah Tidak Dipakai, Mudah dan Praktis
- HP "Underwater" Realme GT 7 Pro Rilis Global, Ini Spesifikasinya
- Yahoo Mail Kebagian Fitur AI, Bisa Rangkum dan Balas E-mail Langsung
- Perbedaan Chromebook dan Laptop Windows yang Perlu Diketahui
- Oppo Reno 13 Series Meluncur Sebentar Lagi, Ini Tanggal Rilisnya
- Janji Terbaru Apple di Indonesia, Rp 1,5 Triliun untuk Cabut Blokir iPhone 16
- China Pamer Roket yang Bisa Dipakai Ulang, Saingi Roket Elon Musk
- 10 Cara Mengubah Tulisan di WhatsApp Menjadi Unik, Mudah dan Praktis
- Ini Dia, Jadwal Rilis Global dan Daftar HP Xiaomi yang Kebagian HyperOS 2
- Terungkap, Karakter Jeff Bezos dan Mark Zuckerberg dalam Memimpin Perusahaan
- Dua iPhone Lawas Ini Terancam Tidak Bisa Lagi Gunakan WhatsApp
- PUBG Mobile Versi 1.3 Ajak Pemain Nonton Konser Virtual
- Oppo A94 Meluncur, Bakal Jadi Reno5 F di Indonesia?
- Cara Cek Nomor XL di Ponsel