Kontroversi Starlink: Masa Depan Internet atau Ancaman Baru bagi NKRI?
PEMERINTAH Indonesia, di bawah arahan Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, telah memberikan izin kepada Starlink untuk beroperasi secara instan di Indonesia.
Keputusan ini menimbulkan berbagai polemik dan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan industri lokal.
Luhut mengungkapkan beberapa nilai lebih dari hadirnya Starlink di Indonesia, termasuk menciptakan pasar layanan internet yang lebih kompetitif dan tidak akan memonopoli pasar.
Selain itu, Starlink diharapkan dapat mempermudah akses internet hingga ke pelosok negeri dan pulau-pulau terpencil, serta memudahkan pekerjaan di seluruh Indonesia.
Starlink telah mendapatkan izin operasional secara cepat tanpa perlu melalui prosedur lelang frekuensi yang biasanya diterapkan.
Meskipun Network Operation Center (NOC) belum ada, perangkat Starlink sudah tersedia di berbagai marketplace.
Keistimewaan ini menimbulkan pertanyaan tentang fairness dan transparansi dalam proses pemberian izin.
Dengan menargetkan 10 persen dari 221 juta penduduk Indonesia yang melek internet, Starlink berpotensi meraih keuntungan hingga Rp 220 triliun.
Tarif yang ditawarkan oleh Starlink cukup bervariasi, mulai dari Rp 750.000 per bulan untuk residensial, Rp 990.000 per bulan untuk regional, dan Rp 4,3 juta per bulan untuk global.
Namun, tarif ini lebih mahal dibandingkan dengan layanan fixed broadband dan mobile celluler yang ada di Indonesia.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam memberikan akses kepada perusahaan asing besar seperti Starlink.
Pemerintah perlu memastikan adanya equal playing field dalam berbagai aspek seperti kewajiban pendirian badan usaha, perpajakan, kualitas layanan (QoS), Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), keamanan data, dan kedaulatan.
Meski ancaman bisnis dari Starlink relatif kecil, ada kekhawatiran tentang potensi predatory pricing yang dapat mengancam penyedia layanan lokal.
Biaya perangkat Starlink yang mencapai Rp 7,8 juta juga menjadi tantangan tersendiri, sementara fixed broadband dan mobile celluler tidak memungut biaya perangkat atau menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggan.
Ada lebih dari 400 perusahaan ISP yang tersebar melayani internet di Indonesia. Mereka yang langsung terancam dengan hadirnya Starlink.
Terkini Lainnya
- X/Twitter Akan Labeli Akun Parodi
- Deretan Laptop Baru Asus di CES 2025, dari Seri Zenbook hingga ROG Strix
- 5 Penyebab Tidak Bisa Lihat Profil Kontak WA Orang Lain
- Cara Logout Akun Google Photos dari Perangkat Lain
- Reaksi TikTok soal Rumor Bakal Dijual ke Elon Musk
- RedNote, Medsos China Mirip TikTok Jadi Aplikasi No. 1 di AS
- Pasar Ponsel Dunia Akhirnya Membaik, Naik 4 Persen Tahun Lalu
- 10 Jenis Cookies di Internet dan Fungsinya
- Fitur Baru ChatGPT Bisa Ngobrol ala Gen Z
- Sah, AS Perketat Ekspor Chip AI ke Pasar Global
- Cara Edit Foto Background Merah untuk Daftar SIPSS 2025, Mudah dan Praktis
- AI Grok Jadi Aplikasi Terpisah, Sudah Ada di iPhone
- Gaji CEO Apple Tim Cook Naik pada 2024, Sekian Jumlahnya
- 5 Besar Merek PC Global Akhir 2024 Riset Canalys, Lenovo Teratas
- 5 Merek HP Terlaris di Dunia 2024 Versi Counterpoint
- Duo HP 5G Realme V60 Series Meluncur, Spek Sama, Harga Beda
- Antivirus Kaspersky Dilarang Dijual di Amerika Serikat
- Oppo Reno 11A Resmi dengan Layar AMOLED 120 Hz dan Kamera 64 MP
- OpenAI: Kepintaran GPT-5 Bakal Seperti Mahasiswa S3
- Razer Luncurkan DeathAdder V3 Hyperspeed, Mouse Gaming Ergonomis Berbodi Ringan