Bagaimana Perkembangan Mutakhir Aplikasi ICT? (Bagian II - Selesai)

SELAIN superapps, Internet of Place, VR/AR, dan ChatGPT, tren aplikasi berikutnya adalah composable architecture. Yakni pendekatan arsitektur software yang memungkinkan bagian-bagian dari sistem untuk dikombinasikan dan digabungkan secara independen dan fleksibel.
Hal ini memungkinkan untuk mengembangkan, menguji, dan menyebarluaskan komponen sistem secara terpisah, sehingga memudahkan pemeliharaan dan evolusi sistem secara keseluruhan.
Baca artikel sebelumnya: Bagaimana Perkembangan Mutakhir Aplikasi ICT? (Bagian I)
Modularitas, reusabilitas serta interoperabilitas menjadi karakter utama composable architecture.
Lebih lanjut, kecepatan dan fleksibilitas pada pengembangan aplikasi, skalabilitas, efisiensi dan kemudahan berbagai pihak bergabung dalam sebuah sistem bisnis digital, - misalnya sistem pembayaran dan eCommerce- menjadi keuntungan utamanya.
Maka itu, merujuk data Gartner CIO Agenda 2022, sebanyak 80 CIO pada 2024 akan mencantumkan modular business redesign melalui composable architecture sebagai lima alasan utama mempercepat kinerja bisnis.
Adapun pendekatan terpopuler dalam composable architecture adalah microservice pada sisi back end.
Aplikasi berbasis microservice dinyatakan akan menjadi mainstream pada masa depan, dan perusahaan yang tidak dapat mengadopsinya akan lebih sulit dalam berkompetisi. Hal ini tergambar dalam survei dari API & Microservices Connectivity Report, Kong (2022).
Disebutkan, 45 perseb responden menyatakan mereka telah berpindah secara full ke distributed software architecture, 44 persen (telah mengadopsi mix architecture antara microservice dan monolithic), 10 persen (menggunakan monolithic architecture tetapi berencana pindah ke distributed architecture dalam 12 bulan ke depan), serta 1 persen (menggunakan monolithic architecture dan tidak berencana berpindah dalam 12 bulan ke depan).
Persentase itu menunjukkan tren migrasi dari monolithic architecture (arsitektur pada proses pengembangan aplikasi di mana seluruh komponen untuk membangun aplikasi menjadi satu single unit) ke microservice architecture (arsitektur pada proses pengembangan aplikasi dimana setiap fitur dikembangkan terpisah dan independen antara satu sama lain).
Terkait microservice architecture ini, kami di Sharing Vision telah melakukan survei 31 responden institusional pada tahun lalu.
Hasilnya mayoritas adalah 48 persen cukup mengetahui, 39 persen pernah mendengar tapi tidak memahami, serta 13 persen memahami. Sebanyak 45 persen responden juga mengaku sudah menerapkan microservice architecture selama 1-3 tahun terakhir.
Respoden yang belum menjawab bahwa mereka belum mengadopsi Microservice karena kurangnya keahlian/talenta yang memiliki skill serta kurangnya dukungan manajemen sebagai alasan utama.
Selain itu, composable architecture juga bisa menggunakan pendekatan Low Code/ No code Development dengan memungkinkan terciptanya solusi software yang lebih lincah dan tahan banting.
Platform low-code merupakan seperangkat tools untuk membantu developer membuat aplikasi dengan lebih cepat daripada harus membuat coding dari awal.
Terkini Lainnya
- Oppo Rilis Case dan Wallet Edisi Timnas Indonesia untuk Reno 13 F 5G
- 5 Aplikasi Al Quran untuk Mengaji Selama Puasa Ramadhan 2025
- Akamai Rilis Laporan "Defender Guide 2025" untuk Mitigasi Ancaman Siber
- Layanan Indosat HiFi Dikeluhkan Gangguan, Ada yang Sampai 9 Hari
- Cara Melihat Password WiFi di Laptop Windows 11 dengan Mudah dan Praktis
- Tabel Spesifikasi Nubia V70 Design di Indonesia, Harga Rp 1 Jutaan
- Google Bawa Fitur ala Circle to Search ke iPhone
- Microsoft Umumkan Muse, AI untuk Bikin Visual Video Game
- Chatbot AI Grok Jadi Aplikasi Terpisah, Bisa Diunduh di HP dan Desktop
- Perbedaan Spesifikasi iPhone 16 Vs iPhone 16e
- 5 Fitur Baru di DM Instagram, Sudah Bisa Dicoba di Indonesia
- Menerka Arti Huruf "E" di iPhone 16e
- Cara Download WhatsApp di Laptop dengan Mudah
- Tablet Huawei MatePad Pro 13.2 Rilis di Indonesia 26 Februari, Ini Spesifikasinya
- Daftar Harga YouTube Premium di Indonesia, Mulai dari Rp 41.500
- Bagaimana Perkembangan Mutakhir Aplikasi ICT? (Bagian I)
- Samsung Galaxy M34 5G Resmi di Indonesia, Ini Harganya
- Lenovo Pamer Perangkat Gaming Terbaru di Legion Asia Pacific Tour 2023 Singapura
- MediaTek Dimensity 9300 Resmi, Chip Pesaing Kuat Snapdragon 8 Gen 3
- OpenSea PHK Setengah Jumlah Karyawan