cpu-data.info

Perlu Imajinasi Kuat untuk Digitalisasi Papua

Ilustrasi
Lihat Foto

Membangun jaringan telekomunikasi nirkabel atau kabel di dunia, tidak ada yang sesulit Indonesia untuk kawasan yang luasnya bisa jadi sama dengan Amerika Serikat dari pantai timur ke pantai baratnya.

Amerika menyelesaikan pembangunan jaringannya sejak tahun 1980-an, sejalan ditemukannya teknologi seluler generasi 1 (1G) dengan AMPS-nya (advance mobile phone system).

Tidak beda jauh awalnya dengan AS, pada awal 1990-an Indonesia mengenal teknologi AMPS dan NMT (nordic mobile telephone), yang terakhir ini basisnya di negara-negara Skandinavia.

Tetapi hingga kini, ketika generasi seluler sudah sampai 5G, masih ada sekitar 26,5 juta penduduk Indonesia belum terlayani, boro-boro 5G, di sebagiannya minus 1G pun belum.

Kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau – dengan 250-an bahasa pengantar – membuat penggelaran jaringan amat sulit dilakukan. Hampir 10 persen dari penduduk Indonesia yang 272 juta itu tinggal di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal (3T), 65 persennya di Papua, Papua Barat, Nusa tenggara Timur (NTT), dan Maluku.

Kendala geografis dengan kepadatan penduduk yang rendah, terpisah ribuan pulau, hutan dan bukit, membuat daya tarik 3T bagi operator telekomunkasi seluler sama sekali tidak ada.

Jangan bayangkan jumlah penduduk desa di Papua atau NTT sama dengan di Jawa, jumlah mereka mungkin sama dengan warga satu RW atau RT di Jakarta.

Badan layanan umum (BLU) di Kementerian Kominfo, BAKTI (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia) bertugas membangun 3T dengan dana dari 1,25 persen pendapatan kotor operator seluler, Rp 2,6 triliun hingga Rp 3 triliun/tahun.

Dengan dana USO (universal service obligation) itu, yang terbangun tahun 2015 hingga 2020 hanya 1.682 BTS (base transceiver station) di 1.675 desa/kelurahan, 1.435 BTS di antaranya di kawasan 3T.

Vandalisme

Selama 10 tahun ke depan, dicanangkan pembangunan telekomunikasi seluler 4G sebanyak 7.904 BTS, tetapi dipercepat menjadi hanya dua tahun, 4.200 BTS tahun 2021 dan 3.704 BTS tahun 2022. Ditambah dari APBN dan sumber lain dana USO menjadi Rp 17 triliun tahun ini, untuk tahun depan diusulkan Rp 24 triliun tetapi baru disetujui Rp 14 triliun karena besarannya tergantung situasi kondisi keuangan negara.

Tidak mudah bagi BAKTI Kominfo membangun di Papua dan Papua Barat, selain kondisi geografis yang memisahkan penduduk satu desa oleh laut, hutan dan bukit juga adat istiadat masyarakat. Satu BTS dibangun di puncak bukit dengan harapan jangkauannya bisa ke seluruh desa, hanya beroperasi sebentar.

Tiadanya penunggu BTS membuat terjadinya vandalisme, perangkatnya dirusak orang, tanpa motif ekonomi memang, tetapi mereka tidak pula paham kerusakan membuat BTS padam. Akhirnya BTS pun dipindah ke kampung yang ada penduduknya, sekaligus satu penduduk menjadi penjaganya.

Orang luar Papua tidak banyak yang paham bahwa isu sosial yang luar biasa kuat menyangkut hak ulayat membuat tanah-tanah yang ada merupakan milik komunitas. Ketika ada satu bidang tanah dibeli lunas untuk membangun BTS, beberapa tahun kemudian ada anggota suku yang merasa belum mendapat bagian mengklaim tanah tadi dengan cara mendudukinya.

Perlu akal yang “nyleneh” untuk mengatasinya, dan BAKTI berhasil mengatasi dengan cara pinjam pakai lahan milik pemerintah daerah untuk pembangunan BTS. Masyarakat menghibahkan tanah 20m X 20m – bukan isu untuk Papua dibanding di perkotaan di Jawa misalnya – kepada Pemda yang langsung mengurusi IMB, dipinjamkan ke BAKTI dengan gratis untuk 10 tahun.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat