Film Dokumenter "The Social Dilemma" di Netflix Gambarkan Seramnya Media Sosial

- Pada awal September, Netflix merilis film dokumenter terbarunya yang berjudul "The Social Dilemma".
Dokumenter ini disutradarai oleh Jeff Orlowski, yang juga merupakan menggarap film dokumenter populer, Chasing Ice dan Chasing Coral.
Secara garis besar, film ini berisi pandangan dari para mantan pegawai dan eksekutif perusahaan raksasa teknologi dan media sosia. Seperti Facebook, Google, YouTube, Twitter, Instagram, hingga Pinterest.
Di era digital saat ini, The Social Dilemma relevan bagi masyarakat. Dokumenter ini juga memberi gambaran betapa "menyeramkannya" media sosial yang sudah melekat dengan kehidupan manusia.
Film ini menceritakan bahwa semua aktivitas yang kita lakukan di internet (media sosial) diawasi, direkam, dan diukur oleh sistem yang telah dirancang sedemikian rupa.
Aktivitas yang dimaksud seperti ketika kita sedang melihat sebuah konten, berapa lama kita melihatnya, konten seperti apa yang sering kita sukai, komentar yang kita bagikan, dan lainnya.
Memata-matai pengguna
Selain itu, algoritma yang diceritakan dalam film ini juga menampilkan bahwa media sosial dapat mengukur dan mengetahui kondisi yang dirasakan oleh penggunanya.
Seperti ketika sedang sedih, bahagia, kesepian, depresi, bahkan mereka tahu apa yang kita lakukan saat larut malam.
Baca juga: Film Cuties Diminta Dihapus dari Netflix
Dengan memantau aktivitas penggunanya, bahkan media sosial dapat mengelompokkan apakah seseorang itu masuk dalam kategori ekstrovert atau introvert.
Data-data itu juga digunakan untuk memprediksi konten seperti apa yang akan mereka rekomendasikan untuk penggunanya, dengan tujuan agar kita menghabiskan waktu lebih lama di media sosial.
"Jadi, semua data yang kita berikan setiap saat, dimasukkan ke sistem yang nyaris tidak diawasi oleh manusia," kata Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasional Facebook dalam dokumenter tersebut.
"Mereka terus membuat prediksi yang makin membaik tentang apa yang kita lakukan dan siapa diri kita," lanjut Sandy.
Guillaume Chaslot, mantan pegawat YouTube juga mengakui bahwa YouTube turut meningkatkan polarisasi di tengah masyarakat.
Chaslot mengatakan, bahwa algoritma berupaya untuk menemukan beberapa cara yang mereka sebut sebagai "rabbit hole" untuk mempengaruhi penggunanya.
Terkini Lainnya
- Mencoba MSI Claw 8 AI Plus, Konsol Gaming Windows 11 dengan Joystick RGB
- Cara Pakai WhatsApp Bisnis buat Promosi UMKM
- Cara Buat Kartu Ucapan Ramadan 2025 untuk Hampers lewat Canva
- Databricks Ekspansi ke Indonesia: Buka Potensi AI dan Pengelolaan Data
- GPU Nvidia RTX 5070 Ti Mulai Dijual di Indonesia, Ini Harganya
- Oppo Rilis Case dan Wallet Edisi Timnas Indonesia untuk Reno 13 F 5G
- 5 Aplikasi Al Quran untuk Mengaji Selama Puasa Ramadhan 2025
- Akamai Rilis Laporan "Defender Guide 2025" untuk Mitigasi Ancaman Siber
- Layanan Indosat HiFi Dikeluhkan Gangguan, Ada yang Sampai 9 Hari
- Cara Melihat Password WiFi di Laptop Windows 11 dengan Mudah dan Praktis
- Tabel Spesifikasi Nubia V70 Design di Indonesia, Harga Rp 1 Jutaan
- Google Bawa Fitur ala Circle to Search ke iPhone
- Microsoft Umumkan Muse, AI untuk Bikin Visual Video Game
- Chatbot AI Grok Jadi Aplikasi Terpisah, Bisa Diunduh di HP dan Desktop
- Perbedaan Spesifikasi iPhone 16 Vs iPhone 16e
- Trik untuk Menang sebagai Impostor dan Crewmate di "Among Us"
- HTC Bikin Ponsel Lipat Mirip Galaxy Z Flip?
- Kabel Internet Asia-Amerika Putus, Indonesia Terpengaruh?
- 7 Game Menarik yang Akan Dirilis Bulan Oktober 2020
- Google Maps Versi Gelap Mulai Disebar di Android