Bos Google Sebut AI Harus Diatur Regulasi
- Selain memudahkan kehidupan, tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) juga memiliki dampak negatif.
Salah satu contohnya, teknologi ini digunakan untuk memanipulasi gambar wajah manusia, atau biasa disebut deepfakes.
Atas dasar itulah CEO Google sekaligus Alphabet, Sundar Pichai, mengatakan bahwa harus ada regulasi yang mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi AI.
"Tidak ada keraguan dalam diri saya bahwa kecerdasan buatan perlu untuk diawasi. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana bentuk pendekatannya," ujar Pichai.
Ia pun berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan teknologi juga harus memikirkan dampak penggunaan AI ketika membuat teknologi tersebut.
Kendati demikian, dikutip KompasTekno dari TheVerge, Rabu (22/1/2020) pria 47 tahun ini menyadari bahwa regulasi AI tak bisa dipukul rata untuk semua platform.
Baca juga: Elon Musk Ingin Manusia Bisa Telepati dengan Tanam Chip AI di Otak
Pasalnya, ada beberapa ranah penggunaan AI yang butuh perhatian khusus, seperti AI untuk keperluan mobil otonom (self-driving cars), hingga AI untuk dunia kesehatan.
Soal AI, perusahaan asal Mountain View, California, AS ini sendiri sejatinya punya sejumlah layanan yang bergantung pada teknologi tersebut, mencakup layanan Google Assistant, Google Lens, dll.
Google juga mengembangkan teknologi pengenalan wajah (facial recognition) yang memanfaatkan AI.
Ini pula yang menjadi alasan utama mengapa Google tak ingin menjual teknologi facial recognition yang dimilikinya.
Besar kemungkinan Google tak menjual teknologi tersebut karena takut disalahgunakan untuk hal yang tidak baik.
Baca juga: Bukan Mengurangi, Kecerdasan Buatan Justru Menambah Pekerjaan
"Kewajiban kami untuk memastikan bahwa teknologi (Google) dimanfaatkan untuk hal yang baik dan tersedia bagi orang banyak," tutur Pichai.
Google pun sebenarnya sempat membangun badan internal yang mengurus soal regulasi terkait penggunaan teknologi AI, machine learning (ML), dan facial recognition pada awal 2019 lalu.
Namun, badan yang sempat dinamakan The Advanced Technology External Advisory Council (ATEAC) itu bubar setelah dua minggu didirikan lantaran tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Terkini Lainnya
- Elon Musk Umumkan Blindsight, Inovasi agar Tunanetra Bisa Melihat Lagi
- Game "God of War Ragnarok" PC Resmi Meluncur, Ini Harganya di Indonesia
- Tablet Huawei MatePad Pro 12.2 dan MatePad 12 X Meluncur, Kompak Pakai Layar PaperMatte
- Mengenal Sehat Sutardja, Pionir di Balik Kesuksesan Marvell Technology
- YouTube Rilis Communities, Fitur Mirip Forum untuk Interaksi dengan Penonton
- Cara Login Akun BPJS Ketenagakerjaan via Aplikasi JMO di HP Android dan iPhone
- Sony Mulai Jual Konsol PlayStation 5 Versi Refurbished, Hemat Rp 1 Jutaan
- Google Menang Gugatan di Uni Eropa, Batal Bayar Denda Rp 25 Triliun
- Cara Cek Aktivitas Login Akun Instagram biar Aman
- Advan 360 Stylus Pro Resmi di Indonesia, Laptop Convertible Harga Rp 7 Juta
- HP Realme 13 Pro 5G dan 13 Pro Plus 5G Resmi di Indonesia, Harga Rp 6 Jutaan
- Cara Bikin Ikon Aplikasi iPhone di iOS 18 Jadi Menarik, Warna dan Ukurannya Bisa Diganti
- Pionir Semikonduktor Modern Sehat Sutardja Meninggal Dunia
- Bagaimana Cara Registrasi Kartu Telkomsel? Ini Dia Langkah-langkahnya
- Mirip TikTok Shop, YouTube Shopping Juga Bisa buat Jualan dan Belanja