cpu-data.info

Masih Sedikit Sarjana TI Indonesia yang Jadi "Programmer" Halaman all -

Ilustrasi programmer.
Lihat Foto

JAKARTA,  - Indonesia berambisi menjadi negara ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara pada 2025 mendatang. Namun jumlah programmer yang ada saat ini disebut masih belum memenuhi kebutuhan.

Meski jumlah lulusan pendidikan vokasi maupun sarjana teknologi informatika (TI) di Indonesia cukup banyak, namun tidak sepenuhnya terserap ke industri digital dan menjadi seorang programmer.

"Saya mengidentifikasi ada tiga masalah, yang pertama adalah kurikulum," jelas CEO startup developer lokal, Dicoding, Narenda Wicaksono di Jakarta, Rabu (15/5/2019).

Menurut pria yang akrab disapa Naren itu, butuh waktu empat tahun bagi perguruan tinggi  untuk memperbarui kurikulum, hal itu disebutnya terlalu lama, sementara teknologi berkembang sangat cepat.

Dengan kondisi kurikulum yang kurang fleksibel tersebut, Naren mengatakan agak sulit menyesuaikan perkembangan dunia digital yang tiap tahun selalu berkembang.

Baca juga: Katie Bouman, Programmer Wanita di Balik Foto Black Hole

Kualitas pengajar TI yang belum merata juga menjadi masalah berikutnya yang harus dibenahi. Menurut Naren, masih banyak pengajar TI yang harus meningkatkan kompetensinya agar transfer ilmu ke mahasiswa lebih maksimal.

Sementara itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi masalah berikutnya. Naren mengatakan, kualitas input SDM di Indonesia juga belum merata.

"Di Indonesia, belajar logika itu belum menjadi kewajiban, karena kebanyakan masih menggunakan sistem hafalan. Sehingga input fundamental rata-rata belum punya standar yang dibutuhkan untuk melewati kelas programming secara penuh," lanjutnya.

Ketiga kendala di atas membuat ketimpangan antara kebutuhan programmer di perusahaan saat ini dan jumlah programmer yang siap dan sesuai kompetensi.

56 persen

Hal itu pun diamini oleh Erma Susanti, dosen TI di Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, Yogyakarta. Erma menambahkan selain ketiga hal tadi, kurangnya motivasi mahasiswa juga menjadi kendala.

CEO Dicoding, Narenda Wicaksono di acara jumpa media di Jakarta, Rabu (15/5/2019)./Wahyunanda Kusuma Pertiwi CEO Dicoding, Narenda Wicaksono di acara jumpa media di Jakarta, Rabu (15/5/2019).

"Sekitar 30 persen saja (mahasiwa yang punya motivasi belajar TI). Ya itu, jurusan TI itu dipikirnya cuma belajar komputer, animasi atau apa, eh ternyata di dalam belajar pemrograman, di luar ekspektasi, tapi sudah terlanjur masuk kulilah dan susah keluar," papar Erma.

Menurut survei Dicoding tentang demografi developer Indonesia, hanya 56 persen lulusan TI yang berkarir sebagai developer di perusahaan. Sisanya kebanyakan bekerja sebagai developer lepas.

Penelitian itu dilakukan pada bulan April lalu, melibatkan 150.000 developer TI yang tersebar di 460 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Upaya kolaboratif

Fakta lain yang ditemukan, walaupun mayoritas responden merupakan lulusan TI, namun dua dari tiga responden mengaku baru "merasa" belajar programming setelah mengikuti kursus online, seperti yang diadakan Dicoding.

Baca juga: Yuma, Programmer Usia 10 Tahun Asal Indonesia yang Dipuji Bos Apple

Dicoding mengklaim, satu dari tiga responden merasa bahwa materi yang diberikan di kelas pemula di Dicoding hampir setara dengan materi yang mereka terima selama kuliah.

"Fakta ini menunjukan bahwa perlu ada upaya kolaboratif dan kerja sama dari berbagai pihak, baik sektor industri, pendidikan, dan pemerintah untuk mengakselerasi keterampilan SDM di bidang TI di Indonesia," jelas Naren.

Dicoding sendiri menawarkan pembelajaran koding secara online melalui situs dicoding.com. Ada 19 kelas berbeda yang dibagi menjadi kelas pemula hingga mahir. Beberapa kelas bisa diambil secara gratis namun ada pula yang berbayar.

Materi yang disuguhkan di antaranya membuat aplikasi Android, membuat game, kotlin for Android, Blockchain, Java, Web, Chatbot, dan manajemen source code.

Baca juga: Mau Belajar Bikin Aplikasi Android, Ini Kelas Online dan Buku dari Dicoding

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat