cpu-data.info

Sriwijaya Air SJ182 Jatuh akibat "Thrust Asymmetry", Ini Analisisnya

Pesawat Boeing 737-500 registrasi PK-CLC milik Sriwijaya Air di Bandara Sepinggan, Balikpapan, Juni 2019. Pesawat ini yang jatuh dalam penerbangan SJ182 pada 9 Januari 2021, di perairan Tanjung Karawang.
Lihat Foto

- Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap hasil investigasi penyebab kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 yang jatuh pada 9 Januari 2021 lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI pada Kamis (3/11/2022).

Secara singkat, Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengungkap faktor penyebab kecelakaan Sriwijaya Air SJ182 adalah yaitu faktor mekanis seperti thrust asymmetry dan faktor manusia seperti complacency atau kepercayaan pada otomatisasi, dan confirmation bias.

Thrust asymmetry (asimetris) adalah kondisi di mana posisi tuas throttle (pengatur mesin) tidak sama antara kanan dan kiri. Boeing 737 memiliki dua mesin dengan dua tuas throttle di kokpit.

Lantas, seperti apa efek thrust assymetry pada suatu penerbangan, dan bagaimana thrust asymmetry ini bisa terjadi dalam penerbangan SJ182?

Apa itu thrust asymmetry?

Dalam penerbangan Sriwijaya Air SJ182, kedua throttle sedang berada dalam posisi maju untuk menghasilkan tenaga mesin besar, karena pesawat sedang mendaki ke ketinggian yang diinginkan.

Baca juga: Apa Itu Autothrottle yang Berfungsi Anomali dalam Kecelakaan Sriwijaya Air SJ182

Air Traffic Controller (ATC) kemudian memerintahkan SJ182 untuk berhenti di ketinggian 11.000 kaki, karena ada traffic/pesawat lain yang juga akan melintas.

Kru SJ182 pun "menahan" pendakian (climb) pesawat dengan mengatur altitude di 11.000 kaki sesuai permintaan ATC, menggunakan sistem autopilot dari mode control panel (MCP) di kokpit.

Setelah mendekati ketinggian 11.000 kaki, maka pesawat akan bertransisi dari fase climb (mendaki) ke cruise (menjelajah). Dalam fase cruise ini, pesawat tidak membutuhkan thrust (daya dorong) yang besar seperti saat climb.

Karena itu, sistem otopilot kemudian mengurangi thrust mesin dengan memundurkan throttle quadrant di kokpit.

Tuas throttle di kokpit B737.Facebook/The 737 Handbook Tuas throttle di kokpit B737.

Namun yang terjadi adalah, tuas throttle sebelah kanan tetap dalam posisi climb, sementara tuas throttle kiri bergerak mundur mengurangi tenaga sesuai petrintah autopilot, sehingga timbullah daya dorong berbeda antara mesin kanan dan kiri (thrust asymmetry).

Daya dorong berbeda ini membuat sikap pesawat serong (yaw). Mesin kanan yang tetap mengeluarkan daya dorong besar, sementara mesin kiri mengurangi tenaga, membuat sikap pesawat serong (yaw) ke kiri.

"Dari hukum aerodinamik, apabila pesawat sudah yaw (serong), maka selanjutnya akan menimbulkan roll (berguling)," kata Nurcahyo.

Dalam kejadian Sriwijaya Air SJ182, pesawat kemudian berguling ke kiri dengan sudut ekstrim, yang akhirnya membuat sikap pesawat dalam kondisi upset, dan sulit untuk direcovery.

Lantas, jika thrust asymmetry ini berbahaya, apakah tidak ada sistem yang dibuat Boeing untuk mencegahnya?

Baca juga: Tentang Citra, Nama di Hidung Pesawat Sriwijaya Air SJ182

Nurcahyo mengatakan, pesawat nahas Boeing 737-500 Sriwijaya Air PK-CLC dilengkapi dengan sistem Cruise Thrust Split Monitor (CSTM), yang tugasnya adalah menon-aktifkan autopilot auto-throttle jika terjadi asymmetry.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat