Indonesia Mengejar Pajak Netflix
JAKARTA, - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan masih mengutak-atik cara untuk bisa mengejar pajak Netflix, perusahaan penyedia jasa streaming video on demand.
Pasalnya, perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat tersebut memiliki nilai ekonomi yang cukup signifikan. Baru-baru ini kencang dikabarkan, di Australia, pemerintah setempat kewalahan untuk bisa menagih pajak kepada Netflix.
Seperti dikutip dari The Australian Financial Review, perusahaan streaming video raksasa tersebut hanya membayar pajak kurang dari 1 persen sepanjang 2018 di Australia.
Padahal, di tahun tersebut mereka meraup untung mulai dari 600 juta dollar AS hingga 1 juta dollar AS. Pajak yang dibayarkan hanya sekitar 341.793 dollar AS (0,06 persen).
Baca juga: Menkominfo Johnny Plate Akan Kejar Pajak Perusahaan Digital
"Konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT (Badan Usaha Tetap) tapi aktivitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan," ujar Sri Mulyani, Selasa (29/10/2019)
"Oleh karena itu, mereka wajib untuk membayar pajak. Di Australia, di Singapura mereka sudah menetapkan untuk mengutip pajak dari Netflix ini, namanya Netflix Tax bahkan di sana," lanjutnya.
Sri Mulyani pun mengatakan, pihaknya secara serius bakal memantau aktivitas Netflix di Tanah Air, meski hingga saat ini aturan mengenai perpajakan digital belum diundangkan.
Baca juga: Dirut Baru Telkomsel Pertimbangkan Buka Blokir Netflix
"Tapi kami akan cari cara untuk tetap mendapatkan hak perpajakan kita," ujar dia.
Aturan pajak digital
Pada pertengahan tahun, Sri Mulyani sempat menyatakan bakal mulai menggodok aturan mengenai pajak digital.
Penarikan pajak untuk perusahaan-perusahaan over the top (OTT) tersebut menjadi masalah lantaran skema perpajakan umumnya mengategorikan wajib pajak sebagai BUT atau permanent establishment.
Baca juga: Tinder, Spotify, dan Netflix Tak Mau Dipajaki Google
Padahal, perusahaan digital telah mengeruk keuntungan yang begitu besar di Indonesia dengan masifnya pengguna jasa mereka.
Sementara, pemerintah belum mampu menarik pajak untuk perusahaan tersebut.
Oleh karena itulah, pada pertemuan G20 tingkat menteri 8-9 Juni 2019 lalu, negara-negara yang terlibat tengah menggodok peraturan perpajakan yang bakal meredefinisi BUT.
"Karena company-nya tidak ada di negara kita namun dia mendapatkan revenue yang efektif, sehingga tidak bisa diaplikasikan yang selama ini di dalam undang-undang dan perjanjian pajak internasional, yaitu BUT permanen establishment," ujar Sri Mulyani.
"(Saat ini) itu mereka tidak perlu BUT di sini namun mereka mendapatkan revenue yang cukup besar," pungkasnya.
Penulis: Mutia Fauzia/Bambang Priyo Jatmiko
Terkini Lainnya
- Foto "Selfie" Kini Bisa Disulap Langsung Jadi Stiker WhatsApp
- Ponsel Lipat Huawei Mate X6 Segera Masuk Indonesia, Intip Spesifikasinya
- Apa Itu Product Active Failed di Microsoft Word? Begini Penyebab dan Cara Mengatasinya
- TikTok Tidak Bisa Diakses Lagi di Amerika Serikat
- Cara Masukkan Tabel di Pesan Gmail dengan Mudah
- 3 Cara Menghapus Cache di iPhone dengan Mudah dan Praktis
- CEO TikTok Ternyata Pernah Magang di Facebook
- Aplikasi TikTok Hilang dari Google Play Store dan Apple App Store AS
- Cara Factory Reset HP Xiaomi dengan Mudah dan Praktis
- Apa Arti “Re” di Gmail dan Mengapa Muncul saat Membalas Pesan?
- TikTok Jawab Putusan AS, Sebut 170 Juta Pengguna Akan Terdampak Penutupan
- Microsoft Hentikan Dukungan Office di Windows 10 Tahun Ini
- TikTok Terancam Ditutup, Medsos RedNote Jadi Aplikasi No. 1 di AS
- Amerika Akan Blokir TikTok, Siapa yang Bakal Diuntungkan?
- Spesifikasi dan Harga Oppo Reno 13 5G di Indonesia