Agate Studio, Pengembang Game Dengan Modal Awal "Passion"
- Indahnya masa kanak-kanak dengan dikelilingi beragam permainan baik tradisional maupun digital, membuat para pendiri Agate Studio pernah bermimpi ingin membuat game sendiri.
Mereka sama-sama kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang saat itu mayoritas sedang menjalani kuliah tingkat tiga. Sebanyak 16 orang berkumpul, berbagi dahsyatnya pengalaman bermain game di masa kecil dan ingin membuat hal serupa yang lebih dahsyat, minimal, untuk diri mereka sendiri.
"Saya merasakan sendiri, masa-masa bermain Final Fantasy dengan levelnya, dengan musiknya, rasanya bahagia dan bangga banget kalau bisa main dan menang. Saat itu saya gak bisa membayangkan kalau saya yang membuat sendiri game yang saya mainkan," kenang Andhika H. Estrada, co-founder, Chief Development Officer saat ditemui di kantor Agate Studio di kawasan Setiabudi Bandung, Sabtu (10/12/2011).
Berkat pengalaman bermain game yang kurang lebih sama dan keinginan membuat game yang sama kuatnya, sebanyak 16 orang mahasiswa tersebut sepakat untuk sering bertemu dan mereka memulai membangun game di laboratorium, tetapi saat itu tak ada satu pun game yang berhasil dihasilkan.
Proyek pertama yang akhrinya mereka kerjakan dimulai tahun 2008 bernama "Ponporon" untuk konsol game Xbox 360 yang dibuat dalam waktu satu bulan. Namun, tak ada penghasilan dari game itu. Meski demikian pada April 2009, mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah perusahaan, dengan nama Agate Studio.
"Agate disepakati begitu saja tanpa ada filosofi. Kami suka kata yang berawalan A agar selalu berada di awal. Lalu mengapa studio? Karena Studio adalah tempat untuk kami mengkreasikan game, tempat untuk bermain bersama, bukan tempat yang semata untuk bekerja," ungkap Andrew P. Budianto, Guild Master Agate Studio.
Gaji Pertama Rp 50 ribu per bulan
Agate Studio kemudian memulai membuat game dengan tiga game untuk XBox, yang kali ini lebih serius. Semua yang tergabung di Agate Studio mengumpulkan modal untuk kelangsungan hidup perusahaan baru mereka.
Modal itu dikembalikan lagi dalam bentuk gaji yang mereka bagi rata, Rp 50 ribu per bulan. "Dari situlah passion bekerja. Dengan gaji segitu kami bertahan selama enam bulan pertama, tanpa pemasukan," jelas Estrada.
Kini, Estrada mengaku gaji karyawan sudah jauh di atas UMR Jakarta (Rp 1.290.000) dan jumlah karyawan yang semula hanya 16 orang sudah bertambah menjadi 60 orang dalam waktu hampir dua tahun.
Terbalik, Dari Pasar Global baru kemudian Pasar Lokal
Menyadari pasar Indonesia yang belum memadai untuk menjual game, Agate Studio memutuskan untuk menjual game mereka ke pasar global terlebih dahulu sejak tahun 2009.
Terkini Lainnya
- Xiaomi Suntik DeepSeek AI ke HyperOS, Ini HP yang Kebagian
- Nugroho Sulistyo Budi Resmi Dilantik Jadi Kepala BSSN
- Bocoran Desain iPhone 17 Pro, Jadi Mirip Ponsel Poco?
- HP Xiaomi Ini Dapat Update 6 Tahun, Dijual di Indonesia
- Foto: 100 Meter dari Panggung Seventeen Bangkok Tetap "Gokil" Pakai Samsung S25 Ultra
- Cara Buat Twibbon Ramadan 2025 di Canva lewat HP dan Desktop
- Garmin Instinct 3 Series Rilis di Indonesia, Kini Pakai Layar AMOLED
- Cara Bikin Kata-kata Kartu Ucapan Lebaran untuk Hampers Lebaran via ChatGPT
- 5 Negara Larang DeepSeek, Terbaru Korea Selatan
- Ini Dia Fitur xAI Grok 3, AI Terbaru Buatan Elon Musk
- Melihat HP Lipat Huawei Mate X6 Lebih Dekat, Layar Besar Bodi Ramping
- Google Didenda Rp 202 Miliar, Pakar Dorong Regulasi Digital yang Lebih Adil
- HP Realme P3 Pro dan P3x 5G Meluncur, Bawa Baterai Besar dan Chipset Baru
- Cara Cari Ide Menu Sahur dan Buka Puasa Otomatis via AI serta Contoh Prompt
- xAI Luncurkan Grok 3, Chatbot AI Pesaing ChatGPT dan DeepSeek