cpu-data.info

Ransomware, Infrastruktur Kritis, dan Urgensi UU KKS (Bagian II)

Ilustrasi peretasan ransomware
Lihat Foto

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa menyetujui "UN Convention against Cybercrime", setelah lima tahun upaya intensif. Hal ini dimuat dalam Press release United Nations: “Member States finalize a new cybercrime convention” (9/08/2024).

Komite Majelis Umum PBB telah menyelesaikan rancangan konvensi pertama yang mengikat secara hukum, tentang kejahatan dunia maya, dan akan diadopsi segera oleh Majelis Umum PBB.

Konvensi ini menjadi perjanjian multilateral antikejahatan pertama dalam lebih dari dua dekade terakhir, dan konvensi PBB pertama melawan kejahatan siber dalam 20 tahun terakhir.

Konvensi menekankan ancaman kejahatan siber yang terus berkembang, mencakup isu-isu seperti terorisme, perdagangan narkoba, dan perdagangan manusia.

Konvensi juga memfasilitasi kerangka kerja untuk meningkatkan kerja sama internasional, penegakan hukum, dan pengembangan kapasitas.

Baca artikel sebelumnya: Ransomware, Infrastruktur Kritis, dan Urgensi UU KKS (Bagian I)

Nilai Kerugian

Angka kerugian akibat ransomware dilaporkan Sausalito Calif berjudul “Global Ransomware Damage Costs Predicted To Exceed $265 Billion By 2031” yang dimuat Cybercrime Magazine (07/07/2023).

Laporan itu mengatakan, kerugian global akibat ransomware (di luar kejahatan siber lainnya), diperkirakan mencapai 265 miliar dollar AS pada 2031, dengan serangan terjadi setiap dua detik.

Luar biasanya, angka ini hanya dari ancaman ransomware, bukan dari semua jenis kejahatan siber. Modus ini terus berkembang karena banyak korban yang bersedia membayar demi menyelamatkan bisnis mereka.

Ransomware, yang awalnya hanya mengenkripsi file korban, kini melibatkan pemerasan dan pencurian data, mengakibatkan dampak signifikan pada bisnis, konsumen, dan sektor vital seperti perawatan kesehatan dan pendidikan.

Laporan Cybercrime Magazine mengungkapkan, organisasi besar kerap menjadi sasaran karena potensi keuntungan yang tinggi.

Sementara sektor yang kurang siap menghadapi ancaman, seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan, lebih rentan terhadap serangan ini.

Ransomware pun bertransformasi, menciptakan pola baru berupa "pemerasan ganda" hingga "tiga kali", yang mempersulit strategi pertahanan. Pelaku ransomware seringkali menargetkan dokumen asuransi korban untuk memaksimalkan permintaan tebusan.

Laporan Cybercrime Magazine mengungkapkan, kolaborasi dengan “aktor negara” menjadikan ransomware sebagai senjata untuk agenda politik dan ekonomi. Insiden ransomware telah berdampak besar pada ekonomi global.

Meskipun penegak hukum dan perusahaan teknologi terus berupaya melawan ancaman ini, tetapi tingkat serangan terus meningkat. Diperlukan formula yang tepat melalui pendekatan teknologi, SDM dan hukum transformatif-preventf serta aspek lainnya secara komprehensif.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat