Halusinasi AI dan Pentingnya Regulasi
HALUSINASI Artificial Intelligence (Al) adalah keadaan di mana platform AI membuat luaran fiktif, atau informasi palsu berdasarkan pola persepsi yang sebenarnya tidak ada atau tidak nyata.
Halusinasi terjadi ketika sistem komputer yang memiliki kemampuan mirip manusia seperti pemrosesan bahasa, menghasilkan informasi yang menyesatkan atau salah, namun menyajikannya sebagai faktual.
Fenomena ini sangat relevan dalam konteks hukum, di mana keakuratan dan keandalan informasi adalah hal terpenting (Kwan Yuen Iu 2023).
Peristiwa menghebohkan di Pengadilan Manhattan AS dalam artikel saya di “Kontroversi Artificial Intelligence dan Penegakan Hukum” adalah contohnya.
Fenomena halusinasi AI sebenarnya sudah ada sejak 1950-an. Istilah “halusinasi AI” pertama kali muncul tahun 2000 dalam Proceedings: Fourth IEEE International Conference on Automatic Face and Gesture Recognition (Maryia Fokina, When Machines Dream: A Dive in AI Hallucinations (2023).
Sementara itu, peneliti Google DeepMind memunculkan istilah “halusinasi AI” pada 2018. Penggunaan istilah ini semakin populer seiring diluncurkannya ChatGPT tahun 2022.
Menurut Maryia Fokina, kasus halusinasi terjadi juga pada 2017. Saat Microsoft memperkenalkan Chatbot AI Tay.
Namun, dengan cepat harus menutup platform tersebut, karena mulai menghasilkan tweet acak yang rasis dan ofensif. Hal itu terjadi kurang dari sehari setelah peluncuran.
Contoh lain terjadi pada 2021, ketika peneliti dari Universitas California menemukan bahwa sistem AI yang dilatih pada gambar berlabel 'panda', tetapi sistem melihatnya sebagai jerapah dan sepeda.
Maryia Fokina menyatakan, halusinasi AI menghasilkan respons yang tidak berdasarkan kenyataan. Halusinasi AI mengacu pada respons “percaya diri” yang tidak memiliki landasan dalam data pelatihannya.
Model lain dan citra medis
Dalam referensi berjudul "What Are AI Hallucinations (and What to Do About Them)" yang ditulis Lauren Strapagiel, menyebut beberapa model halusinasi AI yang mencengangkan, antara lain terkait mobil tanpa pengemudi (mobil otonom).
Mobil otonom menggunakan sistem pembelajaran mesin, untuk menilai kondisi di sekitarnya dan kemudian mengambil keputusan.
AI menentukan, misalnya, objek di jalur berikutnya adalah truk, atau ada tanda rambu berhenti. Namun jika terjadi perubahan rambu, AI mungkin tidak tahu harus berbuat apa.
Pada 2017, para peneliti menguji hal ini, dan mengubah tanda berhenti dengan grafiti yang ditempel.
Lauren menambahkan, ketika pola yang diubah menutupi seluruh rambu, mobil selalu membaca rambu tersebut sebagai rambu batas kecepatan.
Terkini Lainnya
- 5 Besar Vendor Smartphone Dunia Akhir 2024 Versi Canalys
- OpenAI Rilis Fitur Tasks untuk ChatGPT, Ini Fungsinya
- Motorola Moto G Power 2025 Meluncur, HP Android Berstandar Militer
- Meluncur Besok, Intip Bocoran Harga dan Spesifikasi Oppo Reno 13 di Indonesia
- Viral Video Pria Transaksi Pakai Apple Watch, Apple Pay Sudah Bisa di Indonesia?
- Earbuds Nothing Ear (open) Resmi di Indonesia, Harga Rp 2,5 Juta
- Link Download Red Note, Aplikasi Pengganti TikTok yang Lagi Ramai
- Minggu, TikTok Dikabarkan Tutup Aplikasi di AS
- Induk Facebook PHK 3.600 Karyawan yang Kurang Kompeten
- Bos Instagram Bocorkan Jenis Konten yang Bakal Sering Dimunculkan di IG Tahun Ini
- Pilih Cloud Storage atau Hard Drive, Mana yang Ideal?
- Apa Itu Red Note? Aplikasi Pengganti TikTok yang Lagi Ramai di AS
- Honkai Star Rail 3.0 Meluncur, Ada 7 Update Karakter, Area, dan Mekanisme Game
- 4 Tips Hapus Jejak Digital di Internet dengan Aman
- Pemerintah Berencana Batasi Usia Bermedsos bagi Anak
- Tablet Huawei MatePad Pro 11 2024 Resmi, Punya Fitur Koneksi Satelit
- 30 Template CapCut untuk Bikin Konten "November Dump" di IG Reels dan TikTok
- Bocoran Wujud Asli Samsung Galaxy S24 Ultra, Layar dan Punggung Beda dari Sebelumnya
- Kabar Terbaru Jack Ma, Sekarang Jualan Makanan
- Indosat Caplok 300.000 Pelanggan MNC Play