cpu-data.info

Operator Khawatir Frekuensi 5G Mahal

Ilustrasi 5G
Lihat Foto

ERA modernisasi layanan telekomunikasi seluler terbuka pada 2023 ini dengan dilelangnya spektrum frekuensi bagi 5G. Walau itu bisa mundur dan mundur lagi tergantung keberanian dan ketegasan elite Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), seperti yang sudah diterjadi selama ini.

Ramainya dunia pertelekomunikasian kita akan ditambah satelit multi fungsi HTS (high throughput satellite), Satria 1 dan satelit cadangan (HBS – hot backup satellite). Siap mendukung juga jaringan serat optik (FO) yang panjangnya lebih dari 400.000 kilometer yang masih terus bertambah.

Kedua satelit modern itu akan diluncurkan di triwulan kedua dan ketiga tahun ini yang akan membuka keterisoliran di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seperti Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian Kalimantan, dan Sumatera.

Baca juga: Menyoal Lelang Frekuensi 5G yang Tiba-tiba Dibatalkan Kominfo...

Beda dengan cakupan satelit konvensional, jejak (footprint) HTS dan HBS akan meliput fokus di 150.000 titik. Tidak melebar ke mana-mana, meski juga melayani negara tetangga.

Layanan satelit fokus sarana pendidikan, kesehatan, pos-pos TNI—Polri, kantor pemerintahan (desa dan kecamatan), pusat kegiatan ekonomi selain masyarakat umum di 3T.

Bekas ASO

Kita masih berkutat pada upaya membuka isolasi dengan layanan 4G, sementara lebih dari 60 operator telko di dunia sudah menebar 5G sejak dekade lalu. Bahkan Tiongkok sudah memulai coba 6G dengan memanfaatkan satelit.

Ada saja yang dipertimbangkan dan jarang yang berani benar-benar mengambil keputusan. Masalah harga lelang frekuensi, kemampuan investasi operator, dan keseimbangan pemilikan frekuensi, selalu jadi penghambat.

Contoh soal sepele ketika Indonesia menyepakati kebijakan global soal ASO (analog switch off) atau mematikan teknologi analog televisi siaran pada 2018 dan mengganti dengan digital, yang baru dilakukan pada 2022.

Ada protes dari konglomerat penguasa beberapa stasiun komersial televisi Indonesia, sehingga awal Desember lalu masih ada kota yang belum di-ASO-kan.

Baca juga: Menkominfo Sebut Masih Ada 284 Kabupaten/Kota Belum Terapkan ASO

Kebijakan ASO membuat spektrum frekuensi seluas 115 MHz di rentang 700 MHz menjadi kosong karena televisi digital hanya butuh sedikit.

Rentang 700 MHz jadi “spektrum emas” bagi operator seluler, bisa digunakan untuk 4G dan 5G sekaligus dan lelangnya di triwulan pertama tahun ini.

Televisi analog memakan frekuensi terlalu lebar sampai lebih dari 100 Mhz tetapi biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi hanya sekitar Rp 15 miliar setahun. Kalau digunakan operator seluler, BHP frekuensi lebar 90 MHz saja bisa menghasilkan sedikitnya Rp 5 triliun setahun.

Kapasitas Besar

Ironisnya, ketika pemerintah merilis kebijakan akan melelang spektrum frekuensi untuk layanan 5G, operator justru yang ketar-ketir. Walau secara terbuka mereka bilang siap dan gairah menunggu dirilisnya spektrum frekuensi tadi.

Masalahnya, selain harga frekuensi, investasi untuk 5G bisa 10 kali lipat dibanding 4G LTE yang berdampak pada tarif layanannya. Penyebabnya, makin tinggi frekuensi, cakupan (coverage)-nya makin sempit.

Untuk meliput satu area yang sama, milimeterband butuh BTS berpuluh kali lipat jumlahnya dibanding BTS (base transceiver station) pada frekuensi lowband, seperti 700 MHz.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat