cpu-data.info

Bakar Saja Duitnya, Biar Panas

Ilustrasi
Lihat Foto

Lihatlah, betapa mewahnya kantor perusahaan startup digital yang satu itu! Lengkap dengan game room, makan gratis, ruangan beraneka warna dan rasa. Betapa luar biasa mahalnya!

Wow, startup itu berani sekali perang tarif, diskon besar-besaran. Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk subsidi?

Gila! Startup yang itu habiskan sekian miliar untuk beli iklan di TV, pakai bintang iklan si anu lagi. Gila! Banyak banget ya duitnya?

Jika melihat sepak-terjang startup di Indonesia, terutama jika melihat nama-nama besar, tak bisa dipungkiri ada komentar-komentar seperti itu. Baik yang sungguhan mengagumi atau yang sekadar sinis saja.

Ketika salah satu “unicorn” asal Indonesia mendapatkan kabar pendanaan hingga Rp 16 triliun, decak-decak kagum campur sinis soal “bakar duit” pun kembali terdengar. Misalnya: liga olahraga mana lagi nih yang bakal disponsori?

Sekilas, memang wajar saja jika ada yang berdesas-desus begitu. Uang yang besar selalu menimbulkan rasa ingin tahu dan, jujur saja lah, rasa iri di hati. Maka komentar tak bisa direm, apalagi kalau sedang ngobrol di warung kopi.

Lihat dari sisi lain

Namun coba kita lihat dari dua sisi. Pertama, masih banyak lho (teramat banyak, bahkan!) startup yang sungguh-sungguh masih “starting up”. Perusahaan yang memang masih merintis, yang masih celingak-celinguk, mencoba memburu peluang dan pasar yang belum tentu bakal menghasilkan.

Silaunya kita pada para unicorn dan startup modal besar bisa membuat kita lupa, bahwa pada intinya startup adalah dunia para perintis. Bisa jadi para perintis ini adalah sekumpulan mahasiswa jarang mandi yang mencoba menggodok sesuatu dari sebuah kamar kos di Depok. Bisa saja ini adalah barisan sakit hati yang merasa terkekang kala bekerja di sebuah perusahaan besar. Bisa saja ini adalah kita.

Bagi para perintis pemula ini, hari-hari padat modal (mungkin) adalah hari-hari yang dirindukan. Suatu bahan lamunan di sela-sela coding atau bahan guyonan saat ikut hackathon.

Sisi yang kedua adalah dari perusahaan besar. Jika perusahaan digital dianggap bakar duit dengan melakukan subsidi pada penjualannya, bagaimana dengan perusahaan gadget dari negeri jauh yang melakukan promosi jor-joran.

Bukan hal aneh untuk sebuah perusahaan gadget menggelontorkan uang ke promosi barang andalan terbaru mereka. Mengundang berbagai pihak yang dianggap bisa membantu jadi corong jualan mereka, mulai dari awak media, pesohor, hingga buzzer media sosial. Acara mewah di hotel mewah, atau perjalanan ke lokasi-lokasi gemas yang pas buat swafoto.

Berapa banyak sebenarnya duit yang “dibakar” untuk berbagai tujuan, dengan berbagai pembenaran, yang ujung-ujungnya adalah: mencapai tujuan bisnis.

Oke, saya bukan mau mengatakan demi bisnis segala cara boleh dilakukan. Saya juga bukan mau membenarkan segala upaya “bakar duit” itu. Tapi, jujur deh, di luar komentar sinis kita, apabila diberi kesempatan (waktu dan anggaran) apakah kita tidak akan melakukan hal yang serupa? Ini adalah soal kesempatan dan sumberdaya.

Di lain pihak, tentunya, jangan sampai di saat sumber dayanya tidak ada, kesempatannya belum muncul, tapi sudah bertindak seakan-akan bermodal besar. Kalau belum punya duit untuk dibakar, ya jangan dibakar. Kalau memang tidak perlu dibakar, ya buat apa. Mending lempar duitnya ke pihak yang membutuhkan (misalnya, seorang penulis kolom yang berusaha keras untuk tidak terdengar sinis ini).

Catatan tambahan: Soal tema startup itu bakar duit atau tidak, salah satu tulisan yang selalu layak untuk dirujuk adalah dari Andy Fajar Handika, CEO & Founder Kulina di Medium.com.  

Anda bisa membacanya di tautan berikut ini.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat