cpu-data.info

Serial Film "Adolescence" Ungkap Sisi Gelap Media Sosial bagi Remaja

Ilustrasi serial Netflix Adolescence yang mengangkat tema dampak media sosial bagi remaja.
Lihat Foto

- Belakangan, serial terbaru Netflix berjudul "Adolescence" ramai diperbincangkan para sinefil (pencinta sinema). Serial ini menuai banyak pujian.

Salah satunya karena seluruh episode di serial ini diambil menggunakan teknik "one-take". Artinya, keempat episode di serial ini direkam dalam sekali pengambilan, di mana hal ini cukup sulit dan jarang dilakukan oleh sineas.

Bukan cuma itu, tema yang diangkat serial Adolescence juga banyak disorot. Adolescence mengisahkan seorang remaja berusia 13 tahun bernama Jamie Miller (Owen Cooper), yang menjadi tersangka kasus pembunuhan seorang gadis, yang tak lain adalah teman sekelasnya.

Sutradara Adolescence, Jack Thorne dan co-creator Stephen Graham, ingin menggambarkan bagaimana paparan media sosial dan internet sejak dini memengaruhi pembentukan identitas remaja.

Topik yang cukup klise, tetapi cukup sulit dibawa ke "ruang keluarga".

Baca juga: Fitur Baru TikTok, Bantu Orang Tua Awasi Anak saat TikTokan

Sedikit spoiler, serial ini menggambarkan bagaimana Jamie terjebak dalam gagasan toxic (berbahaya) yang ia temukan di dunia maya. Ide yang kemudian ia yakini menjadi jawaban atas kegelisahan dan kerendahan diri khas "ABG" (anak baru gede).

Media sosial dan apa pun yang dikonsumi Jamie membawanya dalam isolasi emosional serta kebutuhan akan validasi yang tiada henti.

Pemilihan topik ini bukan tanpa alasan. Thorne yang juga menulis naskah serial ini memiliki keinginan agar para pemangku kebijakan tergerak untuk meregulasi akses media sosial oleh anak dan remaja.

Cuplikan adegan di miniseri Adolescence.Dok. IMDb Cuplikan adegan di miniseri Adolescence.

Ia berharap, pembatasan bisa melindungi anak-anak dari gagasan berbahaya yang bisa diakses dengan mudah di internet.

"Menjauhkan anak-anak dari ponsel mereka di sekolah dan menjauhkan anak-anak dari media sosial sama sekali," kata Thorne, dirangkum dari BBC.

Baca juga: 7 Cara Mengatasi Anak-anak yang Terlanjur Kecanduan Gadget

Thorne mengatakan, paparan gagasan-gagasan berbahaya di dunia maya memancing ketertarikan anak yang masih dalam tahap mencari jati diri.

"Jika saya berusia 13 tahun (sebagaimana usia tokoh Jamie di serial Adolescence) dan merasa sendirian, terisolasi, dan tidak menarik, hal-hal ini (gagasan berbahaya) kedengarannya seperti jawaban atas rasa sakit saya," jelas Thorne.

Jebakan validasi di media sosial

ilustrasi anak main hape.canva.com ilustrasi anak main hape.

Bagi para remaja hingga dewasa awal, validasi yang didapat di media sosial kerap menjadi barometer harga diri mereka.

Hal ini tak luput dari bagaimana media sosial bekerja. Hampir semua media sosial populer mengandalkan algoritma untuk tetap membuat pengguna mereka tak meninggalkan platformnya.

Mereka merancang algoritma sedemikian rupa agar pengguna tetap terlibat dalam aktivitas media sosial.

Baca juga: Perlukah Anak-anak Main Gadget?

Dampaknya, jumlah like, views, atau komentar dianggap sebagai alat ukur validasi yang berkelanjutan.

Menurut Dr. Kamna Chibber, Kepala Kesehatan Mental, Departemen Kesehatan Mental dan Ilmu Perilaku, Fortis Healthcare, konsekuensi psikologis dari siklus tersebut sering kali diremehkan.

"Media sosial menumbuhkan budaya kepuasan instan. Remaja sering kali menyamakan harga diri mereka, sesuai dengan bagaimana orang lain memandang mereka secara online, yang menyebabkan meningkatnya kecemasan, keraguan diri, dan bahkan cenderung depresif," kata Chibber, dirangkum dari India Today.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat