cpu-data.info

Penerapan Paradigma minMAX dalam Pengembangan AI untuk Indonesia (Bagian I)

Ilustrasi kecerdasan buatan.
Lihat Foto

PADA Rabu (4/12/2024), Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB mengadakan “Kuliah Umum Filsafat Sains: AI, Singularitas, Hype, atau Realitas dan Strategi untuk Indonesia” di Aula Timur ITB.

Acara menghadirkan sejumlah pembicara, termasuk Tutun Juhana (Dekan STEI ITB), Arga M. Nugraha (Direktur Digital & IT BRI), Agus Nggermanto (Youtuber numerasi @Paman APIQ), Budi Sulistyo (Senior Expert dari Sharing Vision), serta penulis.

Pada kuliah ini, penulis memaparkan paradigma minMAX AI (Artificial Intellegence/Kecerdasan Buatan) sebagai paradigma filsafat sains untuk meminimasi risiko AI sekaligus meMAXimalkan nilai AI bagi Indonesia.

Sebelum membahas paradigma ini, penulis membuka pemaparan ini dengan mengutip sejumlah tokoh dunia tentang potensi ancaman AI masa depan.

Stephen Hawking pernah mengutarakan,“Pengembangan kecerdasan buatan secara menyeluruh dapat menjadi akhir umat manusia. Kecerdasan buatan akan berkembang dengan sendirinya, dan mendesain ulang dirinya sendiri dengan kecepatan semakin meningkat. Manusia, yang dibatasi evolusi biologis yang lambat, tidak dapat bersaing, dan akan tergantikan.”

Pendapat ini diperkuat Nick Bilton, kolumnis teknologi di New York Times, yang menggambarkan skenario distopia bagaimana robot medis, yang awalnya dirancang membasmi kanker, justru dapat mengambil kesimpulan ekstrem: Memusnahkan manusia yang genetiknya rentan penyakit tersebut.

Bahkan Elon Musk, salah satu figur teknologi terkemuka, pernah menyebut AI lebih bahaya daripada nuklir, terutama jika tidak diawasi regulator kompeten.

Ia mengkritik sikap sebagian pakar AI yang meremehkan risiko, sembari menilai AI dapat berkembang melampaui manusia, bahkan mengendalikan kita di masa depan.

Musk menggambarkan AI sebagai pedang bermata dua; Menawarkan manfaat besar sekaligus risiko serius bagi kemanusiaan.

Meskipun banyaknya pandangan skeptis, seperti kita tahu, saat ini AI telah membawa manfaat signifikan di berbagai sektor, baik AI generatif maupun analitis.

Di sektor e-commerce, AI meningkatkan pengalaman pengguna melalui rekomendasi personal.

Dalam sektor keuangan, AI membantu mendeteksi anomali transaksi dan meningkatkan akurasi credit scoring.

Di ranah media sosial dan geopolitik, AI dimanfaatkan menganalisis sentimen, memahami opini publik, serta memantau konflik global.

Data yang mendukung tren ini mengacu laporan The state of AI di awal 2024 oleh McKinsey, mayoritas responden sudah memanfaatkan AI dalam fungsi bisnis.

Pada awal 2024, telah terdapat 72 persen organisasi yang telah mengadopsi AI, melonjak tajam dari hanya 20 persen responden pada 2017.

Fungsi marketing dan sales menjadi sektor dengan adopsi AI tertinggi. Bahkan, sebagian organisasi sudah mengalokasikan lebih dari 20 persen dari anggaran digital mereka untuk Generative AI maupun Analytical AI.

Namun, seiring meningkatnya adopsi AI, pertanyaan muncul: Benarkah Generative AI meningkatkan produktivitas berkelanjutan?

Penelitian terbaru menunjukkan dampak signifikannya terhadap kreativitas manusia dan produksi seni.

Dengan menganalisis lebih dari 4 juta karya seni dari 50.000 pengguna unik, studi ini mengungkap bahwa adopsi AI teks-ke-gambar meningkatkan produktivitas kreatif manusia sebesar 25 persen dan meningkatkan nilai karya seni sebesar 50 persen berdasarkan kemungkinan mendapatkan favorit per tampilan.

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, kebaruan konten dan visual yang dihasilkan menurun. Hal ini menunjukkan AI generatif berfungsi sebagai katalis kreativitas manusia, bukan pengganti.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat