Berkaca Kasus Indra Kenz dan Reza Paten: Hati-hati, Artificial Intellegence Jadi Ilmu Palsu
INDRA Kenz akhirnya divonis 10 tahun penjara serta denda Rp 5 miliar atas kasus trading bodong oleh Pengadilan Negeri Tangerang.
Ia terjerat Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pekan lalu, Indonesia dihebohkan kasus Reza Shahrani (Reza Paten) terkait dugaan kasus penipuan robot trading Net89.
Bareskrim Polri telah menetapkan Reza Paten sebagai tersangka. Sebanyak 150 rekening dari 25 bank milik Reza dibekukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK.
Data PPATK, perputaran uang di seluruh rekening tersebut lebih dari Rp 1 triliun.
Reza dikenal sebagai pedagang mata uang asing dan menggeluti dunia trading sejak 2019.
Laki-laki berusia 38 tahun itu lulusan Teknik Informatika, dia terjun di dunia trading berbarengan berdirinya Net89 yang merupakan platform buatan PT Simbiotik Multitalenta Indonesia.
Seolah tak pernah selesai, kejadian ini meneruskan apa yang sebelumnya terjadi dengan kasus Doni Salmanan dan Indra Kenz.
Keduanya setipikal Reza Paten menawarkan untung berlipat dikemas dalam layanan aplikasi digital, termasuk di dalamnya embel-embel kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Sebuah muslihat yang menipu, sekaligus menyengsarakan banyak masyarakat Indonesia!
Tulisan ini hendak mengingatkan bahwa AI, terutama dalam bisnis trading harus bisa dicermati terlebih dahulu.
Sebab, kecerdasan buatan yang seolah menghiptonis tersebut, dalam hemat penulis, sesungguhnya adalah sebuah praktik keilmuan AI yang palsu alias pseudoscience!
Mengapa paslu? Merujuk Andrew W. Lo dan Jasmina Hasanhodzic dalam jurnal ilmiah The Evolution of Technical Analysis: Financial Prediction from Babylonian Tablets to Bloomberg Terminals (2010) disebutkan, keefektifan analisis teknis dan fundamental dibantah oleh efficient-market hypothesis, yang menyatakan bahwa harga pasar saham pada dasarnya tidak dapat diprediksi.
Karenanya, sambung riset Paulos, J.A pada A Mathematician Plays the Stock Market (2003), penerapan AI pada mesin trading masih dianggap oleh banyak akademisi sebagai pseudoscience.
Penulis terlibat dalam sejumlah riset tim terkait. Contohnya pada riset berjudul Deep Reinforcement Learning to Automate Cryptocurrency Trading (Tugas akhir Elbert Shan: Juni 2022), yang menyimpulkan bahwa penggunaan algoritma PPO dalam pasar Bitcoin tidak terbukti menghasilkan keuntungan.
Terkini Lainnya
- Ada Tonjolan Kecil di Tombol F dan J Keyboard, Apa Fungsinya?
- Cara Kerja VPN untuk Membuat Jaringan Privat yang Perlu Diketahui
- Konsol Handheld Windows 11 Acer Nitro Blaze 8 dan Nitro Blaze 11 Resmi, Ini Harganya
- X/Twitter Akan Labeli Akun Parodi
- Deretan Laptop Baru Asus di CES 2025, dari Seri Zenbook hingga ROG Strix
- 5 Penyebab Tidak Bisa Lihat Profil Kontak WA Orang Lain
- Cara Logout Akun Google Photos dari Perangkat Lain
- Reaksi TikTok soal Rumor Bakal Dijual ke Elon Musk
- RedNote, Medsos China Mirip TikTok Jadi Aplikasi No. 1 di AS
- Pasar Ponsel Dunia Akhirnya Membaik, Naik 4 Persen Tahun Lalu
- 10 Jenis Cookies di Internet dan Fungsinya
- Fitur Baru ChatGPT Bisa Ngobrol ala Gen Z
- Sah, AS Perketat Ekspor Chip AI ke Pasar Global
- Cara Edit Foto Background Merah untuk Daftar SIPSS 2025, Mudah dan Praktis
- AI Grok Jadi Aplikasi Terpisah, Sudah Ada di iPhone
- Cara Kerja VPN untuk Membuat Jaringan Privat yang Perlu Diketahui
- Upaya Telkomsel Dukung Transformasi Digital Pemerintah
- Qualcomm Siap Gelar Snapdragon Summit 2022 di Hawaii
- Realme 10 5G Meluncur dengan Chip Dimensity 700
- Cara Menyembunyikan Status Online di WhatsApp Agar Tidak Diganggu
- Seperti Apa TWS yang Cocok untuk Aktivitas Kerja Hibrida dan WFA?