Tidak Mudah Membangun BTS di Papua

Orang negeri jiran pernah menyombong bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di negeri mereka yang tidak ada layanan telekomunikasi, bahkan kini sudah merambah ke 5G, generasi terbaru GSM seluler. Mereka tidak pernah punya kendala dalam membangun jaringan seluler sampai ke pelosok, sampai ke desa paling luar.
Sementara Indonesia, hingga saat ini masih banyak kawasan penduduk yang tidak pernah terjangkau telekomunikasi, jangankan 5G atau 4G, generasi kedua (2G) saja belum pernah mereka rasakan. Sangat beda kondisi geografis Indonesia dengan hampir semua negara di dunia, karena Indonesia punya 17.000 pulau, dan dari 272 juta penduduk, masih ada sekitar 26,5 juta yang belum pernah tersambung ke jaringan telekomunikasi.
Tidak mudah dan tidak murah untuk menyambungkan kawasan-kawasan yang disebut sebagai kawasan 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) karena kendala geografi tadi, bukan hanya karena pulaunya yang banyak. Papua yang daratannya seluas lebih dari Pulau Jawa ditambah Sulawesi dan Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Teggara Timur pun, buminya tidak mudah ditapaki.
Sangat banyak kendala di Pulau Papua, selain juga sebagian Maluku dan NTT, yang penuh dengan hutan, bukit dan ngarai, tidak ada jalan bahkan jalan setapak, yang menghubungkan antardesa. Ini menjadi tantangan karena hampir 10 persen penduduk Indonesia tadi berhak akan layanan telekomunikasi sebagaimana saudara mereka di luar kawasan 3T.
Operator seluler boleh bangga bahwa mereka sudah merambah ke semua desa yang jumlahnya 78.000-an, tetapi dari jumlah itu hanya sedikit desa di 3T yang mereka layani. Apalagi operator yang hingga kini masih belum melirik kebutuhan 26,5 juta penduduk tadi, karena alasan pertimbangan bisnis.
Tetap tidak kebagian
Di luar kawasan 3T, operator mampu membangun infrastruktur seluler yang namanya radio BTS (base transceiver station), yang umumnya ditaruh di puncak menara, tidak sampai 3 hari. Bahan bangunan berupa material baja untuk menara sangat mudah didapat, membawanya ke site pun tinggal menyewa truk.
BTS dan sarana pendukung berupa catu listrik, tinggal menyambung ke jaringan PLN, atau menggunakan solar sel (tenaga surya), terpenuhi nyaris tanpa masalah. Semua tersedia dan terpasang dengan cepat.
Membangun BTS di Pulau Jawa, misalnya, tiap desa bisa hanya satu atau dua BTS, dan ekonomis karena kepadatan penduduk yang dlayani BTS cukup tinggi. Di Papua membangun satu BTS untuk satu desa tidak pernah cukup, sebab kawasan desa bisa terdiri dari beberapa titik permukiman yang dibatasi hutan lebat, jurang, ngarai dan laut.
Selalu jadi pengambilan keputusan yang rumit menentukan satu titik pembangunan BTS, karena titik-titik permukiman di desa itu semua berharap BTS dibangun di kawasan permukiman mereka. Karenanya di kebanyakan kawasan 3T hadirnya BTS tidak pernah memenuhi kebutuhan, selalu saja ada titik permukiman yang masih jadi blank spot, titik yang belum terlayani.
Jangankan kampung-kampung yang terpisah-pisah, penduduk yang beruntung diliput satu BTS pun, masih belum tentu mendapat kenikmatan berselancar di layanan digital. Kapasitas yang tersedia untuk tiap BTS, yang rata-rata baru 1,5 Giga per hari ketika satelit Satria 1 nanti sudah beroperasi, karena kendala cakupan, baru bisa dinikmati mereka yang berada di sekitar BTS.
Umumnya cakupan satu BTS 4G yang ditaruh di menara setinggi 32 meter hanyalah radius 3 kilometer dengan syarat tidak ada yang menghalagi, datarannya rata, tidak berbukit atau hutan. Padahal jarak antar-kampung di Papua, misalnya, walau kurang dari 3 kilometer tetapi terhadang bukit dan hutan, sementara 1,5 GB itu akan habis oleh beberapa puluh orang yang beruntung berada di sekitar BTS. Penduduk lainnya tidak kebagian.
Kerbau dan helikopter
Di kawasan 3T di Papua, sebagian Kalimantan, NTT dan Maluku, kendala geografi membuat pembangunan BTS sangat sulit sehingga biayanya mahal. Material BTS, baik berupa menara tiga kaki atau tiang guey mast dibawa dengan dipikul manusia, menggunakan tenaga kerbau, atau dengan helikopter.
Terutama di Papua, kendala tidak akan selesai begitu BTS terbangun. Tingkat keamanan yang rawan dan oknum-oknum kriminal acap membakar BTS, pekerjanya dibunuh.
Terkini Lainnya
- Riset: Pengguna iPhone Lebih Cepat Ganti HP Baru
- Netflix Buka Restoran, Bawa Konsep Serial dan Film Populer
- 2 Cara Menghentikan SMS Spam Iklan Pinjol yang Mengganggu
- Cara Blokir SMS Spam dan Promosi di HP Samsung
- MSI "Pede" Jual Konsol PC Handheld Lebih Mahal dari Asus dan Lenovo
- 4 Cara Bikin Kartu Ucapan Lebaran 2025 untuk Hampers, Cepat dan Bisa Cetak Sendiri
- Unboxing Moto G45 5G, HP Pertama Motorola "Comeback" ke RI
- Tablet "Flagship" Huawei MatePad Pro13.2 Meluncur, Bawa Fitur Olah Dokumen Level PC
- Motorola Resmi Kembali ke Indonesia, Bawa HP Moto G45 5G
- Ponsel Lipat Huawei Mate X6 Meluncur, Harga Rp 31 Jutaan
- Huawei Mate XT Ultimate Resmi Rilis Global, Smartphone Lipat Tiga Harga Rp 60 Juta
- Cara Menghapus Cache di HP Xiaomi dengan Mudah dan Praktis
- iPhone SE Tidak Ada Lagi, Ini Gantinya?
- Begini Kemampuan AI di PC Gaming Handheld MSI Claw 8 AI Plus
- Bocoran 4 Saudara Kembar Oppo Find X9
- Xiaomi Redmi 10C Resmi di Indonesia dengan Snapdragon 680, Harga Mulai Rp 1 Jutaan
- Samsung Galaxy A73 5G Meluncur di Indonesia dengan Kamera 108 MP, Ini Harganya
- Paket Bundling IndiHome-Netflix Meluncur, Ini Harganya
- Pengguna Telkomsel Bisa Langganan Netflix Tanpa Kartu Kredit
- Paket Bundling Telkomsel Netflix Meluncur, Harga Mulai Rp 62.000