cpu-data.info

Jauhi Jor-joran, Operator Seluler di China dan India Jadi Besar

Seorang pedagang terlihat sedang memilih SIM card di gerai miliknya di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten, Selasa (7/11/2017). Pemerintah mewajibkan registrasi ulang SIM card bagi para pengguna telepon seluler hingga 28 Februari 2018 dengan memakai nomor NIK dan kartu keluarga (KK).
Lihat Foto

Saat mengumumkan laporan keuangan, Dian Siswarini, Presiden Direktur dan CEO XL Axiata mengatakan akan mengakhiri kompetisi jor-joran harga murah layanannya. Pernyataan menarik, bagaimana cara XL menjual layanan dengan harga wajar saat masyarakat terbiasa mencari harga promosi operator.

Ada contoh China dan India yang juga pernah kelebihan operator, juga jor-joran. Dari 6 operator tinggal 3 di China, ARPU (average revenue per user – pendapatan dari rata-rata pelanggan) naik jadi Rp 100.000, dan tiga operator papan atas India, Jio, Airtel dan Vi, begitu yakin dan berani menaikan tarif, ARPU mereka pun melejit.

Sayangnya sebagian operator seluler di Tanah Air saat ini masih berkutat pada penambahan pelanggan dengan iming-iming harga paket data yang murah. Umumnya mereka menjual data pas, tidak jauh atau bahkan di bawah harga normal data yang sekitar Rp 3.000 – Rp 4.000 per GB.

Penjualan memang meningkat, uang masuk lebih besar dari tahun sebelumnya, namun biaya modal (capex – capital expenditure) dan biaya operasi (opex – operational expenditure) membengkak. Terjadi ketimpangan, laba diganduli biaya.

Telkomsel yang tidak pernah ikut jor-joran harga, pendapatannya sekitar Rp 90 triliun dengan laba sekitar Rp 25 triliun, jumlah pelanggannya 173,5 juta. XL Axiata dengan jumlah pelanggan 57,9 juta, pendapatan pada periode sama Rp 26,8 triliun dengan laba Rp 1,3 triliun, laba terbaik sejak 2013.

Kalau tidak terjebak pada kompetisi, mestinya pendapatan XL Axiata dengan jumlah pelanggan sepertiga-an Telkomsel, Rp 30 triliun-an dan laba sekitar Rp 6,5 triliun. Pendapatan kurang banyak, laba beda jauh.

Dampak kompetisi, operator yang terlibat tidak bisa mengembangkan jaringan, tidak mampu menangguk laba cukup untuk tumbuh positif. Hal ini juga pernah terjadi di China dan India dengan jumlah penduduk sama, sekitaran 1,3 miliar jiwa masing-masing.

Tahun 2008, saat masih melayani 3G, China sudah mulai konsolidasi karena menurut pemerintahnya, enam operator tidaklah efisien. Ketika dipangkas menjadi hanya tiga operator, kompetisi menjadi lebih sehat, ARPU mereka naik.

Pola konsumsi pelanggan

Pelanggan tumbuh dan area operasi yang dibagi rata, lalu mereka mulai mengembangkan jaringan dengan teknologi terbaru. ARPU operator di China pun mencapai rata-rata Rp 100.000, sementara Telkomsel sekitar Rp 43.000, XL Axiata Rp 38.000.

Di India, persaingan tarif di industri telko dimainkan tiga dari enam operator yang pangsa pasarnya beda tipis. Jio, si bungsu, menjadi nomor satu tetapi pangsa pasarnya hanya 37 persen, disusul Airtel (30 persen) dan Vodafone Idea/Vi (23 persen).

Selain sadar perang tarif tanpa ujung, pendapatan pun tak akan meningkatkan capex yang masif pada teknologi jaringan. Pada akhir 2021 Airtel menaikkan tarif, mencoba keluar dari kompetisi tidak sehat.

Airtel mampu memahami pola konsumsi pelanggannya dan data ini jadi bekal operator di bawah Barthi Enterprise itu menentukan keputusan. Langkah Airtel diikuti Vi dan Jio.

Konsumsi data rata-rata per pengguna 16 GB per bulan, saat tepat menaikkan tarif untuk menyehatkan industri. “Mampu mengembalikan modal untuk tumbuh ke lebih banyak bidang teknologi, meluncurkan lebih banyak jaringan, dan menjadi model keberlanjutan yang lebih layak di masa depan,” tutur bos Airtel Sunil Bharti Mittal.

Masing-masing operator melakukan langkah strategis, punya satu keinginan yang sama, ARPU pada 2022 harus bisa 200 rupee (sekitar Rp 40.000), dan terus menanjak di 2023, 300 rupee (Rp 57.000-an). Jauh dari saat ini yang hanya 150 rupee (Rp 28.000).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat