cpu-data.info

Sejarah Medium Pencarian Jodoh, dari Iklan Cetak hingga Tinder

Ilustrasi aplikasi kencan online
Lihat Foto

- Aplikasi kencan online macam Tinder, OkCupid, dan lain sebagainya sudah lumrah digunakan di era internet dan serba gadget seperti sekarang, apalagi menjelang hari Valentine tanggal 14 Februari yang diasosiasikan dengan kasih sayang.

Namun tahukah Anda bahwa medium pencari jodoh seperti aplikasi kencan online tadi memiliki sejarah panjang, hingga ratusan tahun ke belakang?

Bentuk awalnya tentu bukan aplikasi digital, tapi iklan pribadi dalam bentuk tertulis atau tercetak yang dipampang untuk menarik peminat.

Baca juga: Facebook Dating, Fitur Kencan Pesaing Tinder Resmi Diluncurkan

Sejarawan H.G. Cocks mencatat bahwa iklan semacam ini sudah beredar di Inggris sejak setidaknya tahun 1695. Ketika itu ada seorang pria 30 tahun yang mengiklankan diri untuk mencari jodoh dengan kriteria tertentu.

Yang mencari jodoh pun tak melulu kaum Adam. Masih di Inggris, pada tahun 1727, Helen Morrison menjadi wanita pertama yang memasang iklan di kolom pencarian jodoh bernama "Lonely Hearts" di koran setempat, Manchester Weekly Journal.

Sayang, alih-alih mendapat jodoh, dia justru dijebloskan ke dalam rumah sakit jiwa selama empat minggu. Masyarakat pada masa itu memang belum siap dengan perempuan yang mengambil inisiatif mencari jodoh.

Pada pertengahan abad ke-19 atau tahun 1800-an, majalah dan tabloid bertema pernikahan banyak bermunculan.

Dalam waktu bersamaan, kegiatan mencari jodoh lewat iklan pribadi pun menjadi mainstream, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Huffpost, Jumat (14/2/2020).

Baca juga: Begini Cara Tinder Comblangkan Pengguna

Memasuki abad ke-20, tuntutan untuk menikah pada usia muda berkurang. Iklan-iklan pun mengalami perubahan, tujuannya tak lagi melulu mencari jodoh, tapi ada juga yang sekadar mencari sahabat pena untuk korespondensi.
 
Awal mula kencan dengan komputer

Perjalanan aplikasi kencan online modern ala Tinder bisa dikilas balik hingga tahun 1965, saat komputer mulai dilibatkan dalam usaha pencarian jodoh.

Ketika itu sekelompok mahasiswa Universitas Harvard membuat "Operation Match", yakni layanan pencarian jodoh yang dijalankan di komputer mainframe seberat 5 ton.

Caranya, peminat terlebih dahulu mengisi kuisioner yang mendeskripsikan diri mereka sekaligus kriteria calon jodoh yang diminati.

Setelah jawabannya dikopi dalam bentuk punch card, komputer kemudian menganalisa dan mencocokannya secara otomatis dengan 5 peminat lain yang memiliki kriteria bersesuaian. Biaya yang dikenakan sebesar 3 dollar AS atu setara dengan 22 dollar AS hari ini (Rp 452.000).

Layanan cari jodoh itu ternyata laku keras. Pada akhir 1965 sudah ada puluhan ribu mahasiswa peminat yang mendaftar ke Operation Match.

Beberapa dekade setelahnya, layanan serupa Operation Match bisa diakses secara jauh lebih praktis dan meluas berkat perkembangan internet dan gadget.

Baca juga: Tinder, Spotify, dan Netflix Tak Mau Dipajaki Google

Era 1990-an sudah banyak bermunculan fasilitas iklan online dan chat room untuk mencari jodoh di situs-situs populer seperti Ameria Online, Prodigy, Match.com, hingga Craiglist. Kencan online bahkan diangkat ke layar lebar lewat film You've Got Mail.

Di abad ke-21, aneka macam situs online dating tersedia dan bisa digunakan untuk mencari jodoh berdasarkan kota tempat tinggal, kepercayaan, hobi, orientasi seksual, hingga etnisitas sehingga memperbesar peluang menemukan kencan yang cocok.

Tinder sebenarnya bukan aplikasi kencan yang pertama karena beberapa aplikasi lain sudah lebih dulu muncul, terutama dari komunitas gay.

Hanya saja, setelah resmi hadir di iPhone pada 2012, Tinder dengan cepat menjadi aplikasi dating terpopuler, apalagi setelah melebarkan sayap ke platform Android setahun setelahnya. Semenjak itu, aplikasi sejenis makin banyak bermunculan dan populer di masyarakat.

Baca juga: Masih Jomblo? Ini 10 Aplikasi Populer yang Bisa Membantu Cari Jodoh

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat